KETERPADUAN TOKOH, ALUR, LATAR
DALAM NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU
(KAJIAN FORMALISME)
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang.
Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dipakai, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengkajian terhadap karya sastra merupakan pemahaman karya sastra yang lebih baik. Dengan demikin karya sastra dapat dinikmati lebih intens serta dapat dimanfaatkan untuk memahami hidup ini (Teeuw, 1984:18).
Sumarjo (1998:18) mengklasifikasikan fungsi dan manfaat karya sastra sebagai berikut: (1) karya sastra mampu memberikan kesadaran pembacanya tentang kesadaran hidup, (2) karya sastra memberikan kegembiraan dan kepuasan batin, (3) karya sastra dapat memberikan kepada pembacanya penghayatan terhadap hidup, (4) karya sastra dapat menolong pembaca menjadi manusia berbudaya.
Dalam karya sastra pasti terdapat unsur intinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik karya sastra ialah unsur-unsur yang secara jalin-menjalin membentuk suatu bangunan yang disebut karya sastra. Unsur-unsur tersebut ialah tokoh, alur, sudut pandang, gaya bahasa, dan lain-lain. Unsure ekstrinsik ialah unsure yang berasal dari luar karya sastra. Yang termasuk dalam kategori unsur tersebut ialah politik, budaya, agama, social, filsafat, dll. Semua unsur ini tidak menjadi penentu keberadaan dan ketiadaan karya sastra, sebab tanpa keberadaan unsur-unsur tersebut system organ karya sastra tetap ada (Najid, 2003:19).
Pada novel “Nayla” karya Djenar Maesa Ayu ini pembaca disuguhkan berbagai macam cerita. Mulai dari cerita kehidupan keseharian Nayla, cerita cinta, dari yang masuk akal sampai yang tidak masuk akal. Sehingga membuat pembaca selalu ingin mengetahui bagaimana akhir ceritanya. Pencerita sebagai tokoh “Nayla” merupakan tokoh utama dan kunci penceritaan dalam novel ini. Dalam penceritaan novel “Nayla” ini dapat diambil keterkaitan antara tokoh, alur, dan latar yang membentuk keterpaduan isi cerita dalam novel. Dari penceritaan pemikiran tokoh “Nayla” disetiap alurnya dapat membuat pembaca mengimajinasikan sebagai tokoh “ Nayla”, dan dalam novel ini pembaca dapat memasuki kehidupan yang dialami tokoh “Nayla”.
Penganalisisan ini digunakan untuk mengetahui keterpaduan tokoh, alur, dan latar dengan menggunakan teori formalisme, sehingga diketahui teori ini dapat membuat unsur-unsur pembentuk karya sastra (tokoh, alur, dan latar) dapat membentuk satu kesatuan cerita yang utuh dan padu.
Alasan pemilihan tokoh, alur, dan latar untuk dianalisis pada novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu adalah bahwa pada novel ini tokoh “Nayla” dinilai sebagai tokoh yang memiliki kehidupan yang begitu luar biasa. Dalam alur pun penulis menyuguhkan alur yang cukup menarik, yaitu pertama menggunakan alur mundur yang menceritakan kehidupan tokoh “Nayla” dimasa lalu, kemudian alur maju yang disisipi dengan alur mundur yang menceritakan kehidupan tokoh “Nayla”dimasa ini dan dimasa sebelumnya, dan di dalam novel ini juga menggunakan alur maju- alur mundur- alur maju sampai pada akhir cerita. Penggambaran latar juga begitu menarik sehingga mampu melihat pembaca berimajinasi dengan latar yang digambarkannya tersebut. Hal-hal yang telah diungkapkan di atas itulah yang menarik untuk dianalis pada novel “Nayla” karya Djenar Maesa Ayu.
Dalam menganalisis novel “Nayla” ini teori yang digunakan ialah teori formalis. Dimana teori formalis ini digunakan untuk mengetahui keterpaduan unsur yang terdapat dalam karya sastra tersebut sehingga dapat menjalin keutuhan bentuk dan isi. Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra, dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dsb. Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia yang terdiri atas para pakar sastra linguistik. Tokoh utama dalam tori formalis ini adalah Jakobson Sjklovsky, Eichenbaum, Tynjanov dan lain-lain. Konsep yang terkenal, yang dikemukakan Jakobson Sjklovsky adalah fibula, sjuzet. Menurut Jakobson Sjklovsky perkembangan sastra merupakan suatu perubahan teru-menerus dalam mengadakan penyulapan itu. Seorang pengarang harus berusaha mendobrak norma literer yang sedang berlaku serta menyimpang dari yang sudah ada. Menurutnya, prinsip evolusi sastra tak lain daripada proses penggantian aotomatisasi dan pengasingan terus-menerus.
Kekurangan pokok dalam teori Jakobson Sjklovsky ialah ia bertitik pangkal pada penyulapan-penyulapan yang terisolir dan ia memandang sebuah karya sastra sebagai penjumlahan prosede (Luxemburg, 1984:204).
2. Permasalahan.
Bardasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian sebagai berikut :
1. Apa ada keterkaitan antara tokoh, alur, dan latar dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu?
2. Bagaimanakah keterkaitan antara tokoh, alur, dan latar dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu?
3. Tujuan Penelitian.
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis adanya keterkaitan antara tokoh, alur, dan latar dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu.
2. Menganalisis keterkaitan antara tokoh, alur, dan latar dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu.
4. Manfaat Penelitian.
Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan telaah sastra terutama digunakan sebagai acuan dalam sastra dengan menggunakan pendekatan struktural khususnya tentang tokoh, alur dan latar serta untuk memahami hubungan keterkaitan antara tokoh, alur, dan latar.
Manfaat Praktis
Secara praktis manfaat menganalisis novel Nayla ini sebagai berikut:
1. Bagi Peneliti sastra
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan literatur tambahan atau rujukan dalam penelitian karya sastra yang lain.
2. Bagi guru bahasa dan sastra Indonesia
Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai aspek-aspek yang membangun karya sastra, khususnya aspek interistik sastra.
3. Bagi masyarakat pembaca
Bahasa ini menjadi informasi menambah apresiasi novel Nayla, suatu alternatif pemahaman terhadap novel itu, yang dapat disanggah, diragukan, didukung atau diterima bergantung pada horizon harapan masing-masing.
5. Batasan Istilah/Kata kunci.
Keterkaitan ialah hal atau perbuatan yang terkait. Keadaan (seseorang, badan, dsb) yang belum dapat mandiri, ketergantungan. (Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 2005:490).
Novel ialah cerita yang terbentuk prosa dalam ukuran luas disini dapat berarti cerita dengan plot atau alur yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula. Namun “Ukuran luas” disini juga tidak dominan, mungkin yang luas hanya salah satu unsur fungsinya saja, misalnya temannya, sedangkan karakter, setting dan lain-lain hanya satu saja. (Sumardjo, 1998:29).
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan berbagai peristiwa cerita (Abram dalam Nurgiantoro, 2002: 165). Dalam sebuah karya fisik toko mutlak ada. Kehadiran toko dalam cerita fiksi amat penting bahkan menentukan sebab tidak mungkin ada cerita yang memiliki watak-watak tertentu seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Latar adalah tempat atau suasana lingkungan yang mewarnai periastiwa tercakup lokasi peristiwa. Suasana hati tokoh (Abraham dalam Nurgiyantoro, 2002:216). Latar memberikan pijakan cerita secara kongret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realities kepada pembaca, mencipkan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.
Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama, yang mnengisahkan jalan cerita melalui perumitan ( pengawatan, atau komplikasi, pen.) kearah klimaks dan selesai. (Sudjiman dalam Indarti, 2006:50)
B. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
1. Kajian Pustaka.
1.1 Penelitian Sebelumnya
Penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh Nur Farida (2004) skripsi Universitas Negeri Surabaya yang berjudul “ Keterpaduan Unsur Penokohan, Alur, dan Latar dalam Novel Ny Katalis (Kisah Mengenai Dadras) karya Budi Dharma, ini dapat disimpulkan bahwa keterpaduan unsur penokohan, alur, dan latar dalam novel Ny Katalis (Kisah Mengenai Dadras) karya Budi Dharma,dapat membentuk satu kesatuan cerita yang utuh dan padu.
Penelitian yang ditinjau dari segi pengarangnya, Djenar Maesa Ayu, pernah diteliti oleh Susanti (2004) skripsi Universitas Negeri Surabaya yang berjudul “Makna dan Lambang dalam Kumpulan Cerpen Mereka Bilang Aku Monyet” karya Djenar Maesa Ayu, ini dapat disimpulkan bahwa kumpulan cerpen “Mereka Bilang Aku Monyet” karya Djenar Maesa Ayu adalah sebuah karya sastra yang didalamnya penuh dengan lambang cara mendeskripsikan bentuk dan lambang-lambang kemudian memberi makana tentang lambang tersebut.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang relevan, penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilihat dari kajian sastra. Penelitian ini berjudul “Kete Tokoh, Alur, Latar dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu”.
1.2 Teori Formalisme
Teori yang menjadi landasan dalam penelitian ini adalah teori formalisme. Secara Etimologis formalisme berasal dari kata forma (latin), yang berarti bentuk atau wujud. Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isi. Sebagai teori modern mengenai sastra, secara histories kelahiran formalisme dipicu oleh tiga factor, adalah sebagai berikut:
a. Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke 19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.
b. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, dimana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis.
c. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.
Tokoh utama dalam tori formalis ini adalah Jakobson Sjklovsky, Eichenbaum, Tynjanov dan lain-lain. Konsep yang terkenal, yang dikemukakan Jakobson Sjklovsky adalah fibula, sjuzet. Menurut Jakobson Sjklovsky perkembangan sastra merupakan suatu perubahan teru-menerus dalam mengadakan penyulapan itu. Seorang pengarang harus berusaha mendobrak norma literer yang sedang berlaku serta menyimpang dari yang sudah ada. Menurutnya, prinsip evolusi sastra tak lain daripada proses penggantian aotomatisasi dan pengasingan terus-menerus.
Kekurangan pokok dalam teori Jakobson Sjklovsky ialah ia bertitik pangkal pada penyulapan-penyulapan yang terisolir dan ia memandang sebuah karya sastra sebagai penjumlahan prosede (Luxemburg, 1984:204).
Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra, dengan cara
meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dsb. Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia yang terdiri atas para pakar sastra linguistik.
1.3 Unsur intrinsik sebagai satu kesatuan dan pembangun karya sastra.
Unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun karya sastra itu, yang sifatnya otonom. Karya sastra tidak lepas dari masalah pengarang, pembaca, situasi sosial politik, pendidikan, dan sebagainya. Plot, karakter, tema dan sebagainya merupakan unsur intrinsik yang membangun prosa fiksi (Tjahjono, 1992:25). Semua bentuk karya sastra yang berupa novel maupun cerpen tidak terlepas dari unsur-unsur. Unsur-unsur tersebut akan selalu terkandung di dalam karya sastra.Unsur-unsur yang membangun karya sastra ada dua, yaitu (1) unsur luar dan (2) unsur dalam.
1.4 Pengertian Novel
Dalam arti luas novel ialah cerita yang terbentuk prosa dalam ukuran luas disini dapat berarti cerita dengan plot atau alur yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula. Namun “Ukuran luas” disini juga tidak dominan, mungkin yang luas hanya salah satu unsur fungsinya saja, misalnya temannya, sedangkan karakter, setting dan lain-lain hanya satu saja. (Sumardjo, 1998:29).
1.5 Latar
Latar atau seting yang disebut juga sebagai juga sebagai tandas tumpu, menyaran pada Pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan social tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiantoro, 2002: 175).
Menurut Nurgiantoro (2002,227) unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsure pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan pemasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainya.
1.6 Tokoh
Menurut Sudjiman (1996:17) berdasarkan fungsinya didalam cerita tokoh dibedakan antara tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral ialah tokoh yang memegang peran pimpinan atau disebut tokoh utama (protagonis). Adapun lawan dari protagonis ialah antagonis juga termasuk tokoh sentral. Protagonis mempunyai sifat-sifat yang baik, keagungan pikiran dan keagungan pikiran dan keluhuran budi. Sebaiknya tokoh antagonis ialah tokoh yang dikatakan jahat, serta berlaku sebagaitokoh kegagalan. Adapun yang dimaksud tokoh bawahan ialah tokoh yang tidak sentral kedudukanya dalam cerita, tetapi bagaimanapun ia diperlukan untuk tokoh utama kriterium yang digunakan untuk menentulan tokoh utama bukan frekwensi kemunculanya, melainkan keterlibatanya dalam peristiwa yang membangun cerita. Dan dapat juga ditentukan dengan memperhatikan hubungan antar tokoh.
1.7 Alur
Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama, yang mnengisahkan jalan cerita melalui perumitan ( pengawatan, atau komplikasi, pen.) kearah klimaks dan selesai. (Sudjiman dalam Indarti, 2006:50)
2. Kerangka Teori.
2.1 Teori Formalisme
Teori yang menjadi landasan dalam penelitian ini adalah teori formalisme. Secara Etimologis formalisme berasal dari kata forma (latin), yang berarti bentuk atau wujud. Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isi. Sebagai teori modern mengenai sastra, secara histories kelahiran formalisme dipicu oleh tiga factor, adalah sebagai berikut:
a. Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke 19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.
b. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, dimana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis.
c. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.
Tokoh utama dalam tori formalis ini adalah Jakobson Sjklovsky, Eichenbaum, Tynjanov dan lain-lain. Konsep yang terkenal, yang dikemukakan Jakobson Sjklovsky adalah fibula, sjuzet. Menurut Jakobson Sjklovsky perkembangan sastra merupakan suatu perubahan teru-menerus dalam mengadakan penyulapan itu. Seorang pengarang harus berusaha mendobrak norma literer yang sedang berlaku serta menyimpang dari yang sudah ada. Menurutnya, prinsip evolusi sastra tak lain daripada proses penggantian aotomatisasi dan pengasingan terus-menerus.
Kekurangan pokok dalam teori Jakobson Sjklovsky ialah ia bertitik pangkal pada penyulapan-penyulapan yang terisolir dan ia memandang sebuah karya sastra sebagai penjumlahan prosede (Luxemburg, 1984:204).
Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra, dengan cara
meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dsb. Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia yang terdiri atas para pakar sastra linguistik.
Formalisme mengkaji tentang unsur-unsur yang ada di dalam karya sastra.
C. METODE PENELITIAN
Sebuah penelitian akan mencapai hasil yang maksimal bila metode yang digunakan sesuai dengan jenis penelitiannya. Penelitian terhadap novel Nayla ini merupakan penelitian kulitatif. Yaitu penelitian yang mengutamakan ke dalam penghayatan terhadap interaksi antara konsep yang di kaji secara empiris. Penelitian ini menggunakan metode analisi deskriptif.
Metode analisis deskriptif ialah metode yang digunakan untuk menganalisis data yang sesuai dengan permasalahan penelitian, menjelaskan hasil analisisnya secara rinci sebagai jawaban permasalahan penelitian dalam bentuk kata, frase, dan kalimat
Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini adalah sebuah novel yang berjudul “Nayla” karya Djenar Maesa Ayu yang di terbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada bulan September 2005 yang terdiri atas 180 halaman. Sampul depan novel bergambar peniti. Sampul luar ini berwarna Coklat dengan tulisan “Nayla” yang di tulis warna putih dan tulisan Djenar Maesa Ayu warna hitam. Halaman pertama persembahan, Halaman selanjutnya ialah pada sampul tertulis “Nayla”, judul, kata terbit, serta tahun terbit. Disusul halaman motto Djenar Maesa Ayu dalam menulis novel “Nayla”.
Data
Data dari penelitian ini berupa paparan bahasa dari novel “Nayla” karya Djenar Maesa Ayu, yang menggambarkan unsur-unsur intrinsik berupa keterkaitan antara tokoh, latar, dan alur, yang di ungkapkan lewat pernyataan, baik dalam bentuk dialog, maupun narasi, serta unsur lain dalam sastra.
Teknik Pengambilan Data
Tenik pengambilan data adalah dengan cara memberi tanda teks terhadap kalimat ataupun pernyataan yang sesuai dengan permasalahan. Teks yang di beri tanda adalah teks yang revan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Teknik yang di gunakan, teknik pustaka:
1. Membaca
Membaca ini digunakan untuk mendapatkan data teks sesuai dengan permasalahan yang diambil. Dalam kegiatan ini membaca ini penelitian memilih tokoh, alur, dan latar yang sesuai dengan data yang diteliti.
2. Menyeleksi Data
Semua data yang terkumpul diseleksi, diambil data yang berhubungan dengan masalah penelitian dan yang tidak berhubungan dengan masalah penelitian tidak dipakai.
Dalam teknik analisis data ini, ada beberapa langkah yang ditempuh dalam menganalisis sastra yang berjudul “ Keterkaitan Tokoh, Alur, dan Latar dalam novel “ Nayla” karya Djenar Maesa Ayu”. Sebagai berikut:
1. Menganalisis adanya keterkaitan antara tokoh, alur, dan latar dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu.
2. Menganalisis keterkaitan antara tokoh, alur, dan latar dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu.
3. Menyimpulkan keterkaitan antara tokoh, alur, dan latar dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu.
D. PEMBAHASAN ANALISIS DATA
Alur yang pertama diceritakan dalam novel ini adalah alur mundur. Dimana tokoh “Nayla” menceritakan kembali apa yang dialaminya ketika masih kecil. Masa kecil dari tokoh “Nayla” ini sangatlah menarik. Nayla merupakan seorang anak yang pemalas, sehingga dia di tusuk oleh ibunya divaginanya dengan peniti, padahal jarang sekali dalam kehidupan sehari-hari seorang ibu menusuk vagina anaknya dengan peniti. Hal ini dapat terlihat pada kutipan berikut:
“ Pertanyaan-pertanyaan masih kerap hadir di kepalanya walaupun fisiknya sudah terbiasa. Ia masih saja heran kenapa setiap malam ngompol di celana padahal sudah menjelang sepuluh tahun usianya. Ia masih saja heran kenapa Ibu tak percaya kalau ia sama sekali tidak malas. Ia benar-benar taak tahu kenapa tak pernah terbangun untuk membuang urine yang sudah memenuhi kantung kemihnya. Ia juga masih heran, kenapa Ibu tak bisa berfikir bahwa tak akan ada satu orang anak pun yang memilih ditusuki vaginanya dengan peniti hanya karena ingin mempertahankan rasa malas.”(2005: 2)
Pada plot ini menceritakan kehidupan kesehariaan dari tokoh “ Nayla”, yang sering kali di tusuk dengan peniti pada vaginanya. Hal inilah yang kemudian membuat novel ini menarik untuk dianalisis.
Alur yang kedua digunakan adalah alur maju dan alur mundur. Dikatakan alur maju karena pada bagian ini tokoh “Nayla” menemukan orang yang benar-benar mencintainya yaitu Juli, dimana dia belum pernah mencintai satu pun laki-laki, tidak sebagai ayah, tidak sebagai kekasih. Hal ini dapat terlihat pada data berikut ini:
“Tak pernah saya mencintai satupun laki-laki. Tidak sebagai ayah, tidak sebagai kekasih. Saya pernah belajar mencintai perempuan. Mencintai ibu. Tapi sayangnya, ibu tak pernah belajar mencintai saya. Ia lebih senang belajar mencintai kekasih-kekasihnya. Bersama Juli, saya merasakan kehangatan kasih yang pernah ingin saya berikan kepada ibu.
E. SIMPULAN
Novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu ini dianalisis menggunakan teori formalisme Sjklovky yang mengemukakan konsep fibula dan sjuzet yang dianalisis melalui keterkaitan antara tokoh, alur dan latar. Diperoleh simpulan bahwa keterpaduan unsur itu mempunyai keterpaduan yang indah dalam karya Djenar Maesa Ayu. Karena karya sastra yang indah itu memiliki keutuhan, keselarasan dan kejelasan. Alur mundur dapat membuat pembaca mengetahui latar belakang dari tokoh “Nayla”. semakin lengkap karena menceritakan sejak ia masih kecil.
Alur maju dapat menggambarkan tokoh “Nayla”, seolah kontras dengan apa yang dialami oleh tokoh “Nayla” saat ini.hal yang tidak kalah menarik ketika kita sampai pada alur maju- alur mundur- alur maju. Tokoh “Nayla”
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang relevan, penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilihat dari kajian sastra. Penelitian ini berjudul “Keterkaitan Tokoh, Alur, Latar dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu”.
F. LAMPIRAN
SINOPSIS NOVEL “NAYLA” KARYA DJENAR MAESA AYU
Novel “Nayla” ini mengisahkan tentang gadis yang bernama Nayla yang berusia 9 tahun, karakter yang melekat pada dirinya saat kecil yaitu males untuk melakukan aktifitas. Tanpa perasaan, kesabaran dalam penderitaan dan kurang percaya diri. Karakter tersebut setelah mendapat pengaruh moderisasi perilaku Nayla berubah menjadi optimis dalam setiap mengendalikan keadaan. Dia mengalami penyimpangan seksualitas, tingkah laku dan reputasi sosialnya selalu asosial dan percaya pada ilmu dan teknologi. Itu semua terjadi pada diri Nayla.
Di usia muda ini Nayla telah banyak mendapat pengalaman yang pahit dan pelajaran yang berharga. Nayla ingin memiliki ibu yang lain, tapi bukan ibunya sendiri. Nayla juga ingin tak memiliki ibu, ketimbang punya ibu yang mengharuskan memilih peniti.
Suatu hari Nayla bolos sekolah. Dia ingin menunggui ayahnya di rumah, karena sedanga sakit walaupun dokter mengatakan kondisinya sudah membaik.setelah Nayla pergi ke rumah ayahnya dia dibawa oleh gerombolan anak perempuan yang memakai kaos seragam berlabel rumah perawatan anak nakal dan narkotika. Di rumah perawatan anak nakal dan narkotika Nayla tidak ada yang menyukai, oleh karena itu ia ingin segera di jemput oleh keluarganya. teman- teman sesame Pembina tak ada yang suka dengannya. Mereka merasa Nayla sombong karena keluarganya terkenal dan kaya. Sudah seminggu dia di rumah perawatan anak nakal dan narkotika. Di kala senggang kerjanya hanya tertawa-tawa sendiri. Memilih-milih ujung rambut, dan menggigiti ujung jari.
Nayla pergi ke rumah lamanya, dan di sana Nayla di suruh memilih antara ibunya atau ayahnya yang dipilih. Ibu Nayla hanya ingin membuat Nayla itu belajar menghadapi pilihan dengan segala konsekuensinya, dimana ibunya Nayla ini selalu menyalahkan ayahnya, bahwa kondisi Nayla yang sekarang ini adalah kesalahan ayahnya. Akhirnya Nayla pergi darui rumah dan mengemasi pakaian-pakaiannya. Suatu hari Nayla berpacaran dengan Ben, diman menurut Ben, Nayla merupakan perempuan yang tidak mencari cinta. Seorang perempuan yang sebenarnya sedang mabuk cinta tapi tidak mau mengakuinya.
G. DAFTAR PUSTAKA
Maesa Ayu, Djenar. 2005. Novel: Nayla. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Najid, Moh. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: Kreasi Media Promo.
Nurgiantoro, Burhan. 2002. Pengkajian Prosa Fiksi.
Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Satra. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Susanti. 2004. Skripsi: Makna dan Lambang dalam Kumpulan Cerpen Mereka Bilang Aku Monyet” Karya Djenar Maesa Ayu. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Tjahjono, Tengsoe. 1992. Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan Apresiasi. Ende Flores: Nusa Indah.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Minggu, 31 Mei 2009
Manipulasi Teori dalam Fiksi
Manipulasi Teori dalam Fiksi
Kebutuhan sastra akan struktur, yang meletakkan diri pada grama dalam bahasa, seolah padanan anggota tubuh yang rindu akan rohnya, yang memancar dengan tenaga mekanik, dalam fungsi tiap serat anggota tubuh. Atau, bisa dibalik: roh yang hendak bereksistensi, meruang dalam tubuh.
Badan bahasa, yang disebut Saussure sebagai penanda, itulah anggota tubuh dalam badan manusia. Sedang ruh manusia adalah makna yang terpancar oleh badan bahasa, ke dalam dunia yang ditandai.
kalau Tardji bertanya sejak kapan sungai dipanggil sungai, maka saussure tak tak tahu dari mana dan siapa yang menyebut sungai itu. maka kini bolehlah kita bertanya: siapa manusia pertama itu dan bagaimana dia bisa mendapatkan sebutan sungai.
Dalam struktur ini, kita menarik kehadiran sastra ke dalam pelbagai konsep sastra, atau konsep bahasa. Menarik sastra juga ke dalam konsep yang datang dari dunia lain: filsafat. Juga ilmu. Ke dalam kerja intertekstualitas.
Struktur sebuah karya sastra, bukanlah sifat dan unsur yang bergerak mutlak dalam dirinya. Ia akan berguncang ketika disentuh oleh dunia lain – dunia pembaca. Resepsi dan interpretasi, adalah hal yang niscaya yang membuat genre sebuah karya sastra berguncang dan saling menyeberang, saling menidakkan. Struktur tiba-tiba menjadi tak utuh lagi. Ketarik dan ditarik oleh pembacanya sendiri, dalam ramainya dunia pemaknaan pembaca. Tapi oleh pengarangnya juga.
Kritikus sastra Katrin Bandel, menunjukkan struktur sebuah karya yang terguncang dan menyeberang itu. Dalam kajiannya terhadap novel supernova, ia meletakkan fenomena struktur yang terguncang itu, dengan penyebutan “Karya sastra sebagai taman bermain”.
“Apa yang akan terjadi seandainya tokoh sebuah novel tiba-tiba melepaskan diri dan meloncat keluar dari karya sastra itu, lalu berkeliaran dengan bebas, tanpa bisa dikontrol lagi oleh pengarang yang menciptakannya?”
Itulah pengelihatan Katrin saat ia menemukan novel Supernova yang diletakkan ke dalam wadah lain – wadah respon pembaca novel Supernova di dunia maya, di mana pembaca menjadi partisipan bebas untuk memaknai dunia novel Supernova.
Kita bisa menyebut respon pembaca sebagai aspek demokratisasi sastra oleh sang pembaca novel. Bahwa novel kini bukanlah milik sang pengarang lagi, tapi sudah menjadi bagian dunia publik yang ramai, yang hendak menarik novel ke dalam situasi domestiknya sendiri. Atau dalam kalimat Katrin, “… rangkaian tulisan di bawah judul Thanks From Me (wadah novel supernova dalam dunia maya itu – hh) merupakan semacam tanggapan pembaca atas novel Supernova. Pembaca bereaksi bukan dengan memberi komentar, seperti yang biasanya dilakukan kritikus atau orang awam setelah membaca sebuah karya sastra.”
Apa yang menarik dalam esai Katrin yang sangat jernih dan penuh kontrol ini, adalah saat ia mengambil Sartre dalam soal aktivitas membaca, bahwa membaca adalah sebuah kegiatan untuk menciptakan kembali.
“Agaknya pandangan Sartre”, tulis Katrin, “bahwa ‘membaca adalah menciptakan yang terarah’ terbukti benar pada mereka, hanya saja apa yang sudah diciptakan dalam benak mereka itu tidak rela mereka tinggalkan pada waktu menutup halaman terakhir, melainkan mereka jadikan titik tolak untuk terus mencipta, dengan mengambil alih cerita dan tokoh-tokoh Supernova.”
“Mengambil alih tokoh-tokoh Supernova”, itulah saat di mana struktur dalam sebuah karya sastra (novel) itu berguncang dan menyeberang, tak lagi menjadi struktur dalam dirinya sendiri. Bermakna dalam dirinya sendiri – dalam makna yang tunggal.
Guncangan seperti ini, sebenarnya terjadi tidak hanya di dalam ranah struktur sebuah karya. Tetapi di ranah pembaca juga sebagai manusia yang menghadapi bacaan. Menghadapi bacaan, sang pembaca pada dasarnya membentuk struktur kognitif yang disadari, menjadi sebuah konsep bagaimana cara dia memandang dunia. Atau tenggelam dan terbenam menjadi sebuah gerak dan gerik dalam diri, psiko dalam term freud. Kelak tiba masanya di mana struktur yang berproses mencari bentuk itu, atau yang “tenggelam”, meledak ke luar sebagai respon manusia atas dunia yang tengah dihadapinya.
Proses seperti itulah yang diceritakan Sartre, dalam renungan metaforik di perpustakaan kakeknya saat ia masih kanak, dalam bukunya yang konon telah mengantarkannya mendapat hadiah nobel yang ditolaknya itu – Kata-Kata.
“Perpustakaan laksana dunia yang terjerat dalam cermin; tebalnya tak terhingga, beraneka, juga tak terduga. Aku terjun dalam petualangan yang luar biasa: menaiki kursi, meja, meski dengan resiko membuat semua roboh jatuh di atasku. Buku-buku di rak paling atas lama di luar jangkauanku. Ada buku lain, baru kutemukan, yang dengan mudah dapat kuambil; tetapi ada juga yang bersembunyi: yang ini pernah kuambil, bahkan mulai kubaca, dan aku yakin sudah kukembalikan, tetapi nyatanya aku perlu waktu seminggu untuk menemukannya kembali. Ada penemuan-penemuan mengerikan: kubuka buku tebal, tahu-tahu halaman berwarnanya kudapati penuh dikerubuti serangga-serangga memualkan. Berbaring di permadani, kulakukan perjalanan-perjalan an yang berat ke tengah karya-karya Fontenelle, Aristophanus, dan Rebelais: kalimat-kalimat berkutat di hadapanku seperti benda-benda hidup; mereka harus kuamati; aku mengelilinginya, pura-pura kujauhi dan tiba-tiba kembali agar bisa mengagetkan mereka di saat lengah: pada umumnya kalimat-kalimat itu tidak membuka rahasia dirinya.”
“Aku mengelilinginya, pura-pura kujauhi dan tiba-tiba kembali agar bisa mengagetkan mereka di saat lengah”, adalah pelukisan guncangan terhadap bacaan, yang ditemukan Katrin terhadap realitas pembaca novel Supernova, yang kini menjadikan novel Supernova sebagai milik bersama. Saya baru menyadari pendapat Katrin ini, ketika memikirkan esai-esai saya sendiri, semacam ideologi dalam mencipta, yang dituang ke dalam bentuk novel, bahwa dunia novel adalah sebuah dunia di mana kebutuhan mengacak-ngacak dan membentuk kembali struktur, adalah proses yang berjalan bolak-balik dalam dunia penciptaan. Penciptaan bukanlah sebuah kawasan yang bisa dan harus dijumudkan, tapi adalah dunia terbuka dimana, seperti kata-kata Sartre, “kalimat-kalimat” yang “tak membuka rahasia dirinya” justru harus diminta terbuka, dikuak untuk dijelajahi. Seakan tangan pengarang memegang serenteng kunci, untuk masuk ke dalam kamar rahasia dari kalimat-kalimat serupa itu. Kini pengarang bebas dalam dirinya sendiri, bebas pula dalam dunia. Tapi kebebasan mutlak sang pengarang, adalah kebebasan mutlak pula bagi sang pembaca sebuah karangan.
Ilmu memang hendak membuat klasifikasi, menentukan sifat-sifat umum dan sifat-sifat khusus, tapi pengarang dan pembaca “bisa terbebas” dari tuntutan ilmu. Ilmu bisa dijadikan panduan, pegangan, atau semacam tongkat untuk bertopang. Selanjutnya dalam pengembaraan memasuki lorong-lorong bahasa sebagai jalan memasuki lorong-lorong jiwa manusia, maka sebuah patokan yang hendak ditancapkan, menjadikan seorang pengarang atau pembaca tergagap. Ia serupa kuda yang laju berpacu, tapi tali kekang memperlambat laju sang kuda. Tapi kemanakah kuda hendak berlari kalau horizon terjauh tanpa peta? Maka nampak kita ditarik ke dalam dunia ilmu kembali. Seolah ilmu adalah tali kekang, menjadi suar ke mana sang pengarang dan pembaca hendak berlabuh, atau mendekat atau menjauh. Tapi bisa juga sebaliknya: ilmu ditarik oleh jiwa pengarang yang tak hendak diblog oleh ilmu.
Dalam dunia tarik menarik semacam itu, dunia di mana kebutuhan membentuk struktur sama besarnya dengan kehendak untuk menghancurkan struktur, maka cerita, atau bahasa, menjadi kawasan penuh kemungkinan, dan nyaris tak ada patokan untuk membentuk sebuah bahasa atau sebuah cerita. Termasuk juga untuk mengintodusir teori dalam sastra, atau membelokkannya.
Konvensi, terbuka untuk sebuah pelanggaran bahasa, dengan atau tanpa kesadaran. Seperti yang diparafrasakan oleh sebuah novel: bahasa juga berhak mendapatkan kesalahannya. Seperti anting dan tato di tubuhmu. Semacam impuls yang berdenyut dari dalam jiwa sang pengarang – dari jiwa sang pembaca juga, kini mengintip di tiap tubuh si aku-lirik atau si aku-prosaik. Mengintip juga pada pencipta kritik. Maka eksplosifisisme, kini bukan hanya sebuah dugaan tapi telah dan bisa menjadi sebuah program.
Hidup memang seolah menggenggam air dalam tangan. Dan air selalu merucut ke balik tangan. Begitulah struktur dan antistruktur itu bekerja dalam jiwa sang pengarang dan sang pembaca. Untuk kemudian meletus dalam ledakan kreatif. Ada tali hendak mengekang lajunya ledakan, tapi putus oleh desakan dalam diri yang tak terbendung lagi. Kehendak untuk memblog bahasa, terkulai oleh kehendak bebas jiwa yang ingin mengembara.
Seperti yang saya lihat dalam puisi penyair Maulana Achmad (dan pastilah penyair lain juga), yang memainkan tarikan-tarikan semacam itu dalam puisinya berjudul “Ketika Nanti”. Tarikan dari sebuah kegetiran, tapi tak terucapkan, dan tak terkatakan – kegetiran apakah itu? Darimana datangnya dan kemana ia hendak menuju? Tapi dalam puisi yang bernas ini, tarikan-tarikan itu bukanlah menampakkan kebutuhan mengacak struktur bahasa, tapi sebuah fenomena dari batin dari aku yang terbelah – batin yang menerima tapi hendak menjauh, menolaknya, menjadikan dirinya sebagai bayangan. Ketika nanti, Aku dan dedaunan sulit diurai Sebaiknya kau keduk sesudu kami Hiduplah! sebatas mampumu saja: bila baik langkahmu, aku kan membentuk baying
Dunia puisi yang menalikan manusia ke dalam dunia benda, ke dalam sebuah majas tentang kesedihan, dalam puisi Maulana “pakcik” Achmad ini, akhirnya sampai juga ke dalam pengacakan struktur “jiwa” benda yang menyatukannya ke dalam jiwa manusia. Itulah saat di mana sang penyair menyebut pengacakan itu sebagai “aku dan dedauan sulit diurai”, di mana daun sebagai benda mati, kini di tangan penyair, menjadi hidup seolah hatinya sendiri. Penyair “merusak” fungsi struktur daun – benda mati itu. Konon, Newton cemas, bahwa Tuhan menambah satu kemampuan lagi terhadap dunia benda, yakni pikiran, sehingga dunia fisika tidak bisa menjadi mekanika utuh.
Dalam puisi Maulana itu, benda belum, atau tidak, berbicara berkonsonan, atau bervokal, tapi seolah berjiwa, dan jiwa itulah yang dihimpitkan oleh pakcik ke dalam motif asosiatif. Maka makna tak hanya datang dari relasi sintaktik dan semantik dalam puisi, apalagi dari permainan bunyi-bunyi, tapi keluar dari imajinasi penyair yang menali dirinya ke dalam dunia benda.
“Biarkan surai kisah kami menampar wajahmu. Mungkin angin kelak kan ceritakan sedikit: pernahkah aku, daun dan angin hidup. Daun, angin, tebing, sampai juga kepada kita menari-narikan kesedihannya, seolah manusia yang bersedih hati yang mengucapkan kesedihannya ke dalam dunia kata-kata – dunia puisi.
Puisi tak hendak masuk ke dalam dirinya sendiri. Ia meningkap di dahan peristiwa, di luar bahasa, sebelum bahasa. Menjadi gerak dan gerik dalam peristiwa. Dalam momen, momentum peristiwa menguar, membentuk bahasa ucapan seorang penyair. Entahlah fiksi entahlah fakta, momen ulang tahun sang istri dihadiahi oleh penyair dengan dunia kata. Kata, sebagai puncak piramida waktu, kini berkumpul dalam peristiwa ulang tahun istri sang penyair Hasan Aspahani. Kukumpulkan daun daun kamboja itu…
Maka tampak sang penyair mengaduk harapan dan kematian: bukankah kamboja, lambang yang kita kenal sebagai bunga kuburan. Paradoks seperti ini, adalah jejak yang diucapkan oleh sang penyair, dari perjalanan fakta yang akhirnya menemukan dirinya ke dalam dunia fiksi – dunia puisi.
Kematian dalam wajahnya yang inheren dalam asosiasi puisi: matahari, daun yang luruh, jam memberat, senja yang tiba, muncul dalam puisi goenawan Mohamad yang sarat dengan pasti dan ragu (hari terakhir seorang penyair, suatu siang). Seolah pasti dan ragu, hendak menjadi permainan penundaan makna dalam semangat Derrida – mati (siapa yang mati?), atau dalam bahasa lain: kematian itu sebagai momen puitik dari kematian yang hendak “ditunda-tunda” oleh si aku-lirik.
Goenawan memasangnya dalam situasi bahasa yang berlirik prosa. Tapi apakah batasnya lagi dunia prosa dan dunia puisi, di tengah perjalanan bolak-balik yang amat cepat tiap peristiwa, atau tiap peristiwa dalam pikiran manusia, yang intensitas tiap unsur-unsurnya telah mencapai puncak kedalaman dan pengasingan, di mana pengimajian dalam puisi, yang dengannya si aku-lirik dalam puisi menyembunyikan dirinya ke dalam lirik dan bait-bait puisi, berpadanan dengan totalitas hidup yang terus berdenyut dalam ruang-ruang absurd. Sebagai lirik dan bait raksasa dalam ruang dunia di labirin lautan benda dan makna di kota-kota, atau lautan benda dan makna di dalamnya lautan, dan ruang juga di dalam kumparan laku manusia dalam dunia.
Kalau intensitas sebagai suatu proses penulisan puisi diperluas cakupannya, ditransendir ke fenomena kehidupan dalam totalitasnya serupa itu, maka cukup alasan untuk mengatakan bahwa kehidupan ini sendiri adalah puisi, yang kerap ditulis ke dalam bahasa prosa. (Ini sebuah puisi, gumam seorang lelaki tua membuka novel putu wijaya: stasiun). Tapi ditulis juga ke dalam bahasa puisi itu sendiri.
Sampai di sini, intensitas sebagai cara menuliskan puisi, bisa dibaca sebagai puisi yang sedang melonggarkan dirinya ke dalam permainan yang memberikan ruang, bagi pembaca puisi untuk berfantasi. Fantasi yang mengintensifkan tiap larik dalam puisi, tapi sekaligus melambatkannya, agar ruang dalam diri pembaca tercipta. Dan itu terjadi saat si aku lirik dalam puisi goenawan menggumamkan nama benda-benda, yang membuat kita membayangkan sebuah lanskap. Menghitungnya seolah manusia menyebut-nyebut kematiannya, menunda-nunda waktu kematiannya. Kuhitung pohon satu-satu. Ada matahari yang lewat mengendap, dan bumi yang jadi lain: daun pun luruh, lebih bisu
Permainan puisi dalam prosa atau prosa sebagai puisi ini, seperti kelak kita lihat dalam novel-novel mutakhir Indonesia, telah berselang-seling, mengambil pelanginya sendiri dalam lirik yang hadir bergaya prosa. Tapi puisi “hari terakhir seorang penyair, suatu siang”, nampak bagi saya bukanlah sekedar puisi yang menjelma prosa dan prosa yang menjelma puisi dalam tenik, juga dalam ciri. Tapi puisi yang berbicara tentang hidup yang merentang maut: maut hendak ditolak dalam keraguannya, atau ketakutannya. Seolah sang penyair hendak menawar maut yang pasti datang itu, dengan melambatkannya melalui kenangan akan benda-benda. Maka intensitas berfungsi bukan sekedar penguat makna puisi, tapi mencipta dan memandu ke dalam ruang-ruang yang lain.
Dalam pengimajian, puisi tak hanya menunjuk pada maut yang menjadi temanya, tapi juga pada pengenalan benda-benda yang muncul – gejala alam yang membawakan suasana kematian. Puisi membawakan kepada kita suasana yang “kelak hendak hilang” (dan hari menunggu/Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku). Dan pengenalan benda di sana bukan merujuk kepada sesuatu yang terlihat untuk dipelajari, tapi sebagai suasana untuk mendekat kepada tema puisi. Sang penyair memakainya sebagai sarana, sebagai kanal, bagi perasaan yang merambat pada dirinya. Ia mengalirkan perasaannya pada dunia benda. Seni memiliki daya tular, kata Tolstoi, dan daya tular itu nampak, bukan hanya dari alam kepada manusia sebagai inti pikiran mimesis.
Puisi (itu) masih taat pada tipologi, tapi majas di sana dihadirkan ke dalam unsur alur seperti dalam teks naratif, dan alur, bukanlah alur yang berumpu pada peristiwa dan jalinan peristiwa seperti dalam dunia prosa, dan puisi, bukanlah karya seni tanpa beralur, tapi alurnya puisi adalah balok-balok benda yang ditautkan, dalam kesan seorang penyair, yang hadir sebagai bahasa alam matahari, pohon, daun, sebagai asosiasi bagi sebuah kematian yang akan tiba itu. Sebagai benda-benda yang disebut dalam puisi.
Di sana, alur menyembunyikan dirinya ke balik gejala. Di mana ruang dan waktu, berjejak dalam masa silam sang penyair dan sang pembaca puisi.
Di sana makna dibentuk oleh unsur-unsur mataporik (aku yang merenungi daun yang luruh) sekaligus metonimik (hadirnya matahari lewat mengendap, jam memberat, dan hari menunggu, dalam relasi dengan aku-lirik yang menjemput mati).
Alur yang hadir dalam larik yang menautkan diri dalam benda alam, menciptakan asosiasi tentang mati. Ada rima di sana, tapi rima diseling oleh penyair ke dalam asosiasi benda alam yang lain. Di mana konsonan dan vokal hadir bersama benda alam, mengesankan mati yang menunggu, seperti kematian dalam hidup ini sendiri pun adalah menunggu. Dengan begitu mati menjadi kehadiran yang datang selapis-selapis, seperti lapisan-lapisan roh yang ketarik, keluar dari tubuhnya selapit-selapit.
Di siang suram bertiup angin. Kuhitung pohon satu-satu Tak ada bumi yang jadi lain: daun pun luruh, lebih bisu Ada matahari lewat mengendap, jam memberat Dan hari menunggu Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku Kemudian Engkau pun tiba, menjemput sajak yang tak tersua Kemudian hari pun rembang dan tanpa cuaca Siang akan jadi dingin, Tuhan, dan angin telah sedia Biarkan aku hibuk dan cinta berangkat dalam rahasia Larik-larik maju, membentuk dua bait dalam puisi, tapi tak bercerita tentang tubuh yang telentang dan mati, tapi menggesernya ke dalam sentuhan sang aku lirik terhadap fenomena benda. Benda yang dalam puisi menjadi pembentuk tema puisi. Maka puisi diselipi sepi, atau sepi merangkak ke celah puisi. Tapi awal puisi dan isi larik dalam bait-bait, membuat kita tersadar: ada efonik yang menyanyikan lagu akhir seorang penyair.
Kebutuhan sastra akan struktur, yang meletakkan diri pada grama dalam bahasa, seolah padanan anggota tubuh yang rindu akan rohnya, yang memancar dengan tenaga mekanik, dalam fungsi tiap serat anggota tubuh. Atau, bisa dibalik: roh yang hendak bereksistensi, meruang dalam tubuh.
Badan bahasa, yang disebut Saussure sebagai penanda, itulah anggota tubuh dalam badan manusia. Sedang ruh manusia adalah makna yang terpancar oleh badan bahasa, ke dalam dunia yang ditandai.
kalau Tardji bertanya sejak kapan sungai dipanggil sungai, maka saussure tak tak tahu dari mana dan siapa yang menyebut sungai itu. maka kini bolehlah kita bertanya: siapa manusia pertama itu dan bagaimana dia bisa mendapatkan sebutan sungai.
Dalam struktur ini, kita menarik kehadiran sastra ke dalam pelbagai konsep sastra, atau konsep bahasa. Menarik sastra juga ke dalam konsep yang datang dari dunia lain: filsafat. Juga ilmu. Ke dalam kerja intertekstualitas.
Struktur sebuah karya sastra, bukanlah sifat dan unsur yang bergerak mutlak dalam dirinya. Ia akan berguncang ketika disentuh oleh dunia lain – dunia pembaca. Resepsi dan interpretasi, adalah hal yang niscaya yang membuat genre sebuah karya sastra berguncang dan saling menyeberang, saling menidakkan. Struktur tiba-tiba menjadi tak utuh lagi. Ketarik dan ditarik oleh pembacanya sendiri, dalam ramainya dunia pemaknaan pembaca. Tapi oleh pengarangnya juga.
Kritikus sastra Katrin Bandel, menunjukkan struktur sebuah karya yang terguncang dan menyeberang itu. Dalam kajiannya terhadap novel supernova, ia meletakkan fenomena struktur yang terguncang itu, dengan penyebutan “Karya sastra sebagai taman bermain”.
“Apa yang akan terjadi seandainya tokoh sebuah novel tiba-tiba melepaskan diri dan meloncat keluar dari karya sastra itu, lalu berkeliaran dengan bebas, tanpa bisa dikontrol lagi oleh pengarang yang menciptakannya?”
Itulah pengelihatan Katrin saat ia menemukan novel Supernova yang diletakkan ke dalam wadah lain – wadah respon pembaca novel Supernova di dunia maya, di mana pembaca menjadi partisipan bebas untuk memaknai dunia novel Supernova.
Kita bisa menyebut respon pembaca sebagai aspek demokratisasi sastra oleh sang pembaca novel. Bahwa novel kini bukanlah milik sang pengarang lagi, tapi sudah menjadi bagian dunia publik yang ramai, yang hendak menarik novel ke dalam situasi domestiknya sendiri. Atau dalam kalimat Katrin, “… rangkaian tulisan di bawah judul Thanks From Me (wadah novel supernova dalam dunia maya itu – hh) merupakan semacam tanggapan pembaca atas novel Supernova. Pembaca bereaksi bukan dengan memberi komentar, seperti yang biasanya dilakukan kritikus atau orang awam setelah membaca sebuah karya sastra.”
Apa yang menarik dalam esai Katrin yang sangat jernih dan penuh kontrol ini, adalah saat ia mengambil Sartre dalam soal aktivitas membaca, bahwa membaca adalah sebuah kegiatan untuk menciptakan kembali.
“Agaknya pandangan Sartre”, tulis Katrin, “bahwa ‘membaca adalah menciptakan yang terarah’ terbukti benar pada mereka, hanya saja apa yang sudah diciptakan dalam benak mereka itu tidak rela mereka tinggalkan pada waktu menutup halaman terakhir, melainkan mereka jadikan titik tolak untuk terus mencipta, dengan mengambil alih cerita dan tokoh-tokoh Supernova.”
“Mengambil alih tokoh-tokoh Supernova”, itulah saat di mana struktur dalam sebuah karya sastra (novel) itu berguncang dan menyeberang, tak lagi menjadi struktur dalam dirinya sendiri. Bermakna dalam dirinya sendiri – dalam makna yang tunggal.
Guncangan seperti ini, sebenarnya terjadi tidak hanya di dalam ranah struktur sebuah karya. Tetapi di ranah pembaca juga sebagai manusia yang menghadapi bacaan. Menghadapi bacaan, sang pembaca pada dasarnya membentuk struktur kognitif yang disadari, menjadi sebuah konsep bagaimana cara dia memandang dunia. Atau tenggelam dan terbenam menjadi sebuah gerak dan gerik dalam diri, psiko dalam term freud. Kelak tiba masanya di mana struktur yang berproses mencari bentuk itu, atau yang “tenggelam”, meledak ke luar sebagai respon manusia atas dunia yang tengah dihadapinya.
Proses seperti itulah yang diceritakan Sartre, dalam renungan metaforik di perpustakaan kakeknya saat ia masih kanak, dalam bukunya yang konon telah mengantarkannya mendapat hadiah nobel yang ditolaknya itu – Kata-Kata.
“Perpustakaan laksana dunia yang terjerat dalam cermin; tebalnya tak terhingga, beraneka, juga tak terduga. Aku terjun dalam petualangan yang luar biasa: menaiki kursi, meja, meski dengan resiko membuat semua roboh jatuh di atasku. Buku-buku di rak paling atas lama di luar jangkauanku. Ada buku lain, baru kutemukan, yang dengan mudah dapat kuambil; tetapi ada juga yang bersembunyi: yang ini pernah kuambil, bahkan mulai kubaca, dan aku yakin sudah kukembalikan, tetapi nyatanya aku perlu waktu seminggu untuk menemukannya kembali. Ada penemuan-penemuan mengerikan: kubuka buku tebal, tahu-tahu halaman berwarnanya kudapati penuh dikerubuti serangga-serangga memualkan. Berbaring di permadani, kulakukan perjalanan-perjalan an yang berat ke tengah karya-karya Fontenelle, Aristophanus, dan Rebelais: kalimat-kalimat berkutat di hadapanku seperti benda-benda hidup; mereka harus kuamati; aku mengelilinginya, pura-pura kujauhi dan tiba-tiba kembali agar bisa mengagetkan mereka di saat lengah: pada umumnya kalimat-kalimat itu tidak membuka rahasia dirinya.”
“Aku mengelilinginya, pura-pura kujauhi dan tiba-tiba kembali agar bisa mengagetkan mereka di saat lengah”, adalah pelukisan guncangan terhadap bacaan, yang ditemukan Katrin terhadap realitas pembaca novel Supernova, yang kini menjadikan novel Supernova sebagai milik bersama. Saya baru menyadari pendapat Katrin ini, ketika memikirkan esai-esai saya sendiri, semacam ideologi dalam mencipta, yang dituang ke dalam bentuk novel, bahwa dunia novel adalah sebuah dunia di mana kebutuhan mengacak-ngacak dan membentuk kembali struktur, adalah proses yang berjalan bolak-balik dalam dunia penciptaan. Penciptaan bukanlah sebuah kawasan yang bisa dan harus dijumudkan, tapi adalah dunia terbuka dimana, seperti kata-kata Sartre, “kalimat-kalimat” yang “tak membuka rahasia dirinya” justru harus diminta terbuka, dikuak untuk dijelajahi. Seakan tangan pengarang memegang serenteng kunci, untuk masuk ke dalam kamar rahasia dari kalimat-kalimat serupa itu. Kini pengarang bebas dalam dirinya sendiri, bebas pula dalam dunia. Tapi kebebasan mutlak sang pengarang, adalah kebebasan mutlak pula bagi sang pembaca sebuah karangan.
Ilmu memang hendak membuat klasifikasi, menentukan sifat-sifat umum dan sifat-sifat khusus, tapi pengarang dan pembaca “bisa terbebas” dari tuntutan ilmu. Ilmu bisa dijadikan panduan, pegangan, atau semacam tongkat untuk bertopang. Selanjutnya dalam pengembaraan memasuki lorong-lorong bahasa sebagai jalan memasuki lorong-lorong jiwa manusia, maka sebuah patokan yang hendak ditancapkan, menjadikan seorang pengarang atau pembaca tergagap. Ia serupa kuda yang laju berpacu, tapi tali kekang memperlambat laju sang kuda. Tapi kemanakah kuda hendak berlari kalau horizon terjauh tanpa peta? Maka nampak kita ditarik ke dalam dunia ilmu kembali. Seolah ilmu adalah tali kekang, menjadi suar ke mana sang pengarang dan pembaca hendak berlabuh, atau mendekat atau menjauh. Tapi bisa juga sebaliknya: ilmu ditarik oleh jiwa pengarang yang tak hendak diblog oleh ilmu.
Dalam dunia tarik menarik semacam itu, dunia di mana kebutuhan membentuk struktur sama besarnya dengan kehendak untuk menghancurkan struktur, maka cerita, atau bahasa, menjadi kawasan penuh kemungkinan, dan nyaris tak ada patokan untuk membentuk sebuah bahasa atau sebuah cerita. Termasuk juga untuk mengintodusir teori dalam sastra, atau membelokkannya.
Konvensi, terbuka untuk sebuah pelanggaran bahasa, dengan atau tanpa kesadaran. Seperti yang diparafrasakan oleh sebuah novel: bahasa juga berhak mendapatkan kesalahannya. Seperti anting dan tato di tubuhmu. Semacam impuls yang berdenyut dari dalam jiwa sang pengarang – dari jiwa sang pembaca juga, kini mengintip di tiap tubuh si aku-lirik atau si aku-prosaik. Mengintip juga pada pencipta kritik. Maka eksplosifisisme, kini bukan hanya sebuah dugaan tapi telah dan bisa menjadi sebuah program.
Hidup memang seolah menggenggam air dalam tangan. Dan air selalu merucut ke balik tangan. Begitulah struktur dan antistruktur itu bekerja dalam jiwa sang pengarang dan sang pembaca. Untuk kemudian meletus dalam ledakan kreatif. Ada tali hendak mengekang lajunya ledakan, tapi putus oleh desakan dalam diri yang tak terbendung lagi. Kehendak untuk memblog bahasa, terkulai oleh kehendak bebas jiwa yang ingin mengembara.
Seperti yang saya lihat dalam puisi penyair Maulana Achmad (dan pastilah penyair lain juga), yang memainkan tarikan-tarikan semacam itu dalam puisinya berjudul “Ketika Nanti”. Tarikan dari sebuah kegetiran, tapi tak terucapkan, dan tak terkatakan – kegetiran apakah itu? Darimana datangnya dan kemana ia hendak menuju? Tapi dalam puisi yang bernas ini, tarikan-tarikan itu bukanlah menampakkan kebutuhan mengacak struktur bahasa, tapi sebuah fenomena dari batin dari aku yang terbelah – batin yang menerima tapi hendak menjauh, menolaknya, menjadikan dirinya sebagai bayangan. Ketika nanti, Aku dan dedaunan sulit diurai Sebaiknya kau keduk sesudu kami Hiduplah! sebatas mampumu saja: bila baik langkahmu, aku kan membentuk baying
Dunia puisi yang menalikan manusia ke dalam dunia benda, ke dalam sebuah majas tentang kesedihan, dalam puisi Maulana “pakcik” Achmad ini, akhirnya sampai juga ke dalam pengacakan struktur “jiwa” benda yang menyatukannya ke dalam jiwa manusia. Itulah saat di mana sang penyair menyebut pengacakan itu sebagai “aku dan dedauan sulit diurai”, di mana daun sebagai benda mati, kini di tangan penyair, menjadi hidup seolah hatinya sendiri. Penyair “merusak” fungsi struktur daun – benda mati itu. Konon, Newton cemas, bahwa Tuhan menambah satu kemampuan lagi terhadap dunia benda, yakni pikiran, sehingga dunia fisika tidak bisa menjadi mekanika utuh.
Dalam puisi Maulana itu, benda belum, atau tidak, berbicara berkonsonan, atau bervokal, tapi seolah berjiwa, dan jiwa itulah yang dihimpitkan oleh pakcik ke dalam motif asosiatif. Maka makna tak hanya datang dari relasi sintaktik dan semantik dalam puisi, apalagi dari permainan bunyi-bunyi, tapi keluar dari imajinasi penyair yang menali dirinya ke dalam dunia benda.
“Biarkan surai kisah kami menampar wajahmu. Mungkin angin kelak kan ceritakan sedikit: pernahkah aku, daun dan angin hidup. Daun, angin, tebing, sampai juga kepada kita menari-narikan kesedihannya, seolah manusia yang bersedih hati yang mengucapkan kesedihannya ke dalam dunia kata-kata – dunia puisi.
Puisi tak hendak masuk ke dalam dirinya sendiri. Ia meningkap di dahan peristiwa, di luar bahasa, sebelum bahasa. Menjadi gerak dan gerik dalam peristiwa. Dalam momen, momentum peristiwa menguar, membentuk bahasa ucapan seorang penyair. Entahlah fiksi entahlah fakta, momen ulang tahun sang istri dihadiahi oleh penyair dengan dunia kata. Kata, sebagai puncak piramida waktu, kini berkumpul dalam peristiwa ulang tahun istri sang penyair Hasan Aspahani. Kukumpulkan daun daun kamboja itu…
Maka tampak sang penyair mengaduk harapan dan kematian: bukankah kamboja, lambang yang kita kenal sebagai bunga kuburan. Paradoks seperti ini, adalah jejak yang diucapkan oleh sang penyair, dari perjalanan fakta yang akhirnya menemukan dirinya ke dalam dunia fiksi – dunia puisi.
Kematian dalam wajahnya yang inheren dalam asosiasi puisi: matahari, daun yang luruh, jam memberat, senja yang tiba, muncul dalam puisi goenawan Mohamad yang sarat dengan pasti dan ragu (hari terakhir seorang penyair, suatu siang). Seolah pasti dan ragu, hendak menjadi permainan penundaan makna dalam semangat Derrida – mati (siapa yang mati?), atau dalam bahasa lain: kematian itu sebagai momen puitik dari kematian yang hendak “ditunda-tunda” oleh si aku-lirik.
Goenawan memasangnya dalam situasi bahasa yang berlirik prosa. Tapi apakah batasnya lagi dunia prosa dan dunia puisi, di tengah perjalanan bolak-balik yang amat cepat tiap peristiwa, atau tiap peristiwa dalam pikiran manusia, yang intensitas tiap unsur-unsurnya telah mencapai puncak kedalaman dan pengasingan, di mana pengimajian dalam puisi, yang dengannya si aku-lirik dalam puisi menyembunyikan dirinya ke dalam lirik dan bait-bait puisi, berpadanan dengan totalitas hidup yang terus berdenyut dalam ruang-ruang absurd. Sebagai lirik dan bait raksasa dalam ruang dunia di labirin lautan benda dan makna di kota-kota, atau lautan benda dan makna di dalamnya lautan, dan ruang juga di dalam kumparan laku manusia dalam dunia.
Kalau intensitas sebagai suatu proses penulisan puisi diperluas cakupannya, ditransendir ke fenomena kehidupan dalam totalitasnya serupa itu, maka cukup alasan untuk mengatakan bahwa kehidupan ini sendiri adalah puisi, yang kerap ditulis ke dalam bahasa prosa. (Ini sebuah puisi, gumam seorang lelaki tua membuka novel putu wijaya: stasiun). Tapi ditulis juga ke dalam bahasa puisi itu sendiri.
Sampai di sini, intensitas sebagai cara menuliskan puisi, bisa dibaca sebagai puisi yang sedang melonggarkan dirinya ke dalam permainan yang memberikan ruang, bagi pembaca puisi untuk berfantasi. Fantasi yang mengintensifkan tiap larik dalam puisi, tapi sekaligus melambatkannya, agar ruang dalam diri pembaca tercipta. Dan itu terjadi saat si aku lirik dalam puisi goenawan menggumamkan nama benda-benda, yang membuat kita membayangkan sebuah lanskap. Menghitungnya seolah manusia menyebut-nyebut kematiannya, menunda-nunda waktu kematiannya. Kuhitung pohon satu-satu. Ada matahari yang lewat mengendap, dan bumi yang jadi lain: daun pun luruh, lebih bisu
Permainan puisi dalam prosa atau prosa sebagai puisi ini, seperti kelak kita lihat dalam novel-novel mutakhir Indonesia, telah berselang-seling, mengambil pelanginya sendiri dalam lirik yang hadir bergaya prosa. Tapi puisi “hari terakhir seorang penyair, suatu siang”, nampak bagi saya bukanlah sekedar puisi yang menjelma prosa dan prosa yang menjelma puisi dalam tenik, juga dalam ciri. Tapi puisi yang berbicara tentang hidup yang merentang maut: maut hendak ditolak dalam keraguannya, atau ketakutannya. Seolah sang penyair hendak menawar maut yang pasti datang itu, dengan melambatkannya melalui kenangan akan benda-benda. Maka intensitas berfungsi bukan sekedar penguat makna puisi, tapi mencipta dan memandu ke dalam ruang-ruang yang lain.
Dalam pengimajian, puisi tak hanya menunjuk pada maut yang menjadi temanya, tapi juga pada pengenalan benda-benda yang muncul – gejala alam yang membawakan suasana kematian. Puisi membawakan kepada kita suasana yang “kelak hendak hilang” (dan hari menunggu/Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku). Dan pengenalan benda di sana bukan merujuk kepada sesuatu yang terlihat untuk dipelajari, tapi sebagai suasana untuk mendekat kepada tema puisi. Sang penyair memakainya sebagai sarana, sebagai kanal, bagi perasaan yang merambat pada dirinya. Ia mengalirkan perasaannya pada dunia benda. Seni memiliki daya tular, kata Tolstoi, dan daya tular itu nampak, bukan hanya dari alam kepada manusia sebagai inti pikiran mimesis.
Puisi (itu) masih taat pada tipologi, tapi majas di sana dihadirkan ke dalam unsur alur seperti dalam teks naratif, dan alur, bukanlah alur yang berumpu pada peristiwa dan jalinan peristiwa seperti dalam dunia prosa, dan puisi, bukanlah karya seni tanpa beralur, tapi alurnya puisi adalah balok-balok benda yang ditautkan, dalam kesan seorang penyair, yang hadir sebagai bahasa alam matahari, pohon, daun, sebagai asosiasi bagi sebuah kematian yang akan tiba itu. Sebagai benda-benda yang disebut dalam puisi.
Di sana, alur menyembunyikan dirinya ke balik gejala. Di mana ruang dan waktu, berjejak dalam masa silam sang penyair dan sang pembaca puisi.
Di sana makna dibentuk oleh unsur-unsur mataporik (aku yang merenungi daun yang luruh) sekaligus metonimik (hadirnya matahari lewat mengendap, jam memberat, dan hari menunggu, dalam relasi dengan aku-lirik yang menjemput mati).
Alur yang hadir dalam larik yang menautkan diri dalam benda alam, menciptakan asosiasi tentang mati. Ada rima di sana, tapi rima diseling oleh penyair ke dalam asosiasi benda alam yang lain. Di mana konsonan dan vokal hadir bersama benda alam, mengesankan mati yang menunggu, seperti kematian dalam hidup ini sendiri pun adalah menunggu. Dengan begitu mati menjadi kehadiran yang datang selapis-selapis, seperti lapisan-lapisan roh yang ketarik, keluar dari tubuhnya selapit-selapit.
Di siang suram bertiup angin. Kuhitung pohon satu-satu Tak ada bumi yang jadi lain: daun pun luruh, lebih bisu Ada matahari lewat mengendap, jam memberat Dan hari menunggu Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku Kemudian Engkau pun tiba, menjemput sajak yang tak tersua Kemudian hari pun rembang dan tanpa cuaca Siang akan jadi dingin, Tuhan, dan angin telah sedia Biarkan aku hibuk dan cinta berangkat dalam rahasia Larik-larik maju, membentuk dua bait dalam puisi, tapi tak bercerita tentang tubuh yang telentang dan mati, tapi menggesernya ke dalam sentuhan sang aku lirik terhadap fenomena benda. Benda yang dalam puisi menjadi pembentuk tema puisi. Maka puisi diselipi sepi, atau sepi merangkak ke celah puisi. Tapi awal puisi dan isi larik dalam bait-bait, membuat kita tersadar: ada efonik yang menyanyikan lagu akhir seorang penyair.
sastra
Mengenal sastra…
WWW.Cakrawalasastra.blgpsot.com
Heany_h@yahoo.co.id
Sastra ialah tulisan indah yang dibuat oleh manusia, seperti buku-buku kuno atau bentuk-bentuk seni yang lain. Ada dua pengertian sastra yang dapat dijadikan pijakan kokoh untuk memahami apa yang dimaksud dengan sastra.
1. Sastra ialah ekspresi pikiran dan perasaan manusia, baik lisan maupun tulis, dengan menggunakan bahasa yang indah menurut konteksnya (Hutomo dalam Najid, 2003:5). Pengertian tersebut menunjukkan tiga hal penting yang menjadi ciri khas sastra, yaitu: sastra adalah ekspresi pikiran dan perasaan manusia, bentuk lisan dan tulis; serta penggunaan bahasa yang indah menurut konteksnya.
2. Pengertian sastra yang mendasarkan diri pada hubungan pengarang dengan teks, kenyataan dengan teks, dan teks dengan pembaca (Luxemburg dalam Najid, 2003:3).
Berdasar atas berbagai pengertian tersebut dapat ditarik benang merah tentang pengertian sastra yang fungsional, yaitu: Sastra ialah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasanya, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan.
Dari pengertian sastra tersebut dapat ditarik beberapa pemikiran tentang penting sebagai berikut: Sastra adalah rekaman isi jiwa pengarangnya; Sastra adalah komunikasi khusus pengarang dengan pembacanya; Sastra adalah bentuk. Sebagai sebuah bentuk ia harus memiliki keteraturan dan memiliki pola; Sastra adalah alat penghibur, memberi rasa senang dan puas pada pembaca, dan memberi manfaat pada pembaca.
Pemikiran tentang pengertian sastra memberi inspirasi pada batasan mutu karya sastra. Karya sastra yang bermutu memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1. Padu, Karya sastra yang baik menunjukkan adanya keteerpaduan unsur-unsurnya, keserasian antara bentuk, isi, bahasa, dan ekspresi pribadi pengarangnya.
2. merupakan penemuan dan pembaharuan. Penemuan mengacu pada bentuk yang sama sekali baru daripada bentuk-bentuk sebelumnya. Pembaharuan mengarah pada usaha pengarang dalam menciptakan rancang bangun yang berupa inovasi kreatifnya.
3. merupakan ekspresi pengarangnya. Hanya manusia yang jiwanya berisi saja yang mampu mengeluarkan sesuatu dari dalam dirinya.
4. merupakan penafsiran hidup. Karya sastra yang bermutu
Sastra sebagai ekspresi pikiran dan perasaan manusia menunjukkan bahwa sastra bukanlah hasil pekerjaan lamunan semata (fully imagination) dan bukan pula hasil pemikiran atau perenungan atas sebuah kejadian semata. Sastra adalah panduan antara dua kekuatan manusia, berpikir dan berasa. Sebuah fenomena yang menarik perhatian pengarang akan dicerna terlebih dahulu, diolah, dan disampaikan dalam bentuk baru dan rancangan bangun tertentu.
Lisan maupun tulis mengarah pada khasana sastra yang tidak sekedar berbentuk tulis saja namun ekspresi pikiran dan perasaan manusia dapat pula disampaikan dalam bentuk tuturan atau ujaran. Inilah yang nantinya akan menjadi sastra tulis (Literary) dan sastra lisan (Orality). Perbedaan dua khasana sastra ini yang utama pada objeknya saja. Sastra tulis cenderung memiliki objek yang relative mudah berubah.
Ungkapan pikiran dan perasaan manusia baik lisan maupun tulis yang disebut sebagi sastra harus disampaikan dengan bahasa yang indah menurut konteks. Aspek keindahan bahasa sastra dalam hal ini terikat erat dengan tataran ruang dan waktu, di mana dan kapan. Maksud pernyataan tersebut dapat dikaitkan dengan analogi berikut. Criteria kecantikan di sebuah kawasan atau daerah termasuk Negara akan senantiasa berbeda dengan kriteria kecantikan pada kawasan, daerah, Negara lain.
WWW.Cakrawalasastra.blgpsot.com
Heany_h@yahoo.co.id
Sastra ialah tulisan indah yang dibuat oleh manusia, seperti buku-buku kuno atau bentuk-bentuk seni yang lain. Ada dua pengertian sastra yang dapat dijadikan pijakan kokoh untuk memahami apa yang dimaksud dengan sastra.
1. Sastra ialah ekspresi pikiran dan perasaan manusia, baik lisan maupun tulis, dengan menggunakan bahasa yang indah menurut konteksnya (Hutomo dalam Najid, 2003:5). Pengertian tersebut menunjukkan tiga hal penting yang menjadi ciri khas sastra, yaitu: sastra adalah ekspresi pikiran dan perasaan manusia, bentuk lisan dan tulis; serta penggunaan bahasa yang indah menurut konteksnya.
2. Pengertian sastra yang mendasarkan diri pada hubungan pengarang dengan teks, kenyataan dengan teks, dan teks dengan pembaca (Luxemburg dalam Najid, 2003:3).
Berdasar atas berbagai pengertian tersebut dapat ditarik benang merah tentang pengertian sastra yang fungsional, yaitu: Sastra ialah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasanya, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan.
Dari pengertian sastra tersebut dapat ditarik beberapa pemikiran tentang penting sebagai berikut: Sastra adalah rekaman isi jiwa pengarangnya; Sastra adalah komunikasi khusus pengarang dengan pembacanya; Sastra adalah bentuk. Sebagai sebuah bentuk ia harus memiliki keteraturan dan memiliki pola; Sastra adalah alat penghibur, memberi rasa senang dan puas pada pembaca, dan memberi manfaat pada pembaca.
Pemikiran tentang pengertian sastra memberi inspirasi pada batasan mutu karya sastra. Karya sastra yang bermutu memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1. Padu, Karya sastra yang baik menunjukkan adanya keteerpaduan unsur-unsurnya, keserasian antara bentuk, isi, bahasa, dan ekspresi pribadi pengarangnya.
2. merupakan penemuan dan pembaharuan. Penemuan mengacu pada bentuk yang sama sekali baru daripada bentuk-bentuk sebelumnya. Pembaharuan mengarah pada usaha pengarang dalam menciptakan rancang bangun yang berupa inovasi kreatifnya.
3. merupakan ekspresi pengarangnya. Hanya manusia yang jiwanya berisi saja yang mampu mengeluarkan sesuatu dari dalam dirinya.
4. merupakan penafsiran hidup. Karya sastra yang bermutu
Sastra sebagai ekspresi pikiran dan perasaan manusia menunjukkan bahwa sastra bukanlah hasil pekerjaan lamunan semata (fully imagination) dan bukan pula hasil pemikiran atau perenungan atas sebuah kejadian semata. Sastra adalah panduan antara dua kekuatan manusia, berpikir dan berasa. Sebuah fenomena yang menarik perhatian pengarang akan dicerna terlebih dahulu, diolah, dan disampaikan dalam bentuk baru dan rancangan bangun tertentu.
Lisan maupun tulis mengarah pada khasana sastra yang tidak sekedar berbentuk tulis saja namun ekspresi pikiran dan perasaan manusia dapat pula disampaikan dalam bentuk tuturan atau ujaran. Inilah yang nantinya akan menjadi sastra tulis (Literary) dan sastra lisan (Orality). Perbedaan dua khasana sastra ini yang utama pada objeknya saja. Sastra tulis cenderung memiliki objek yang relative mudah berubah.
Ungkapan pikiran dan perasaan manusia baik lisan maupun tulis yang disebut sebagi sastra harus disampaikan dengan bahasa yang indah menurut konteks. Aspek keindahan bahasa sastra dalam hal ini terikat erat dengan tataran ruang dan waktu, di mana dan kapan. Maksud pernyataan tersebut dapat dikaitkan dengan analogi berikut. Criteria kecantikan di sebuah kawasan atau daerah termasuk Negara akan senantiasa berbeda dengan kriteria kecantikan pada kawasan, daerah, Negara lain.
sosiologi sastra
Konflik Sosial Tokoh Tamin dalam Novel “ Pulang “ Karya Toha Mokhtar
Heni Puspitasari
Abstak
Novel “ Pulang “ ini menggambarkan bahwa tak selamanya kehidupan pun berjalan lancar dan mulus, apalagi ketika seseorang sudah berkeluarga, segala permasalahan dan cobaan datang silih berganti, menguji kekuatan suatu rumah tangga. Jaminan ekonomi yang kurang tidak selamanya membuat hati mereka sedih. Dalam penelitian ini mengangkat permasalahan pokok yaitu bagaimana bentuk konflik sosial tokoh Tamin dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar ?. Dari rumusan tersebut, maka dapat diperoleh tujuannya yaitu mendeskripsikan bentuk konflik sosial tokoh Tamin dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar. Manfaat penelitian secara teoritis yaitu bagi pengembang teori sastra, khususnya teori sosiologi sastra dan teori konflik sosial yang terdapat dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar. Manfaat secara praktis yaitu bagi mahasiswa sastra untuk kegiatan analisis terhadap karya sastra dari segi pemahaman konflik sosial yang dialami oleh tokoh yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis yang menunjukkan konflik sosial yang terjadi pada tokoh.
Kata kunci : - Novel “Pulang”
- Tokoh Tamin
- Bentuk Konflik Sosial
- Rumusan Masalah
- Manfaat Penelitian
- Metode Kualitatif
A. PENDAHULUAN
Sastra muncul karena dilatarbelakangi bahwa sastra muncul dari masyarakat dan merupakan cermin dari kehidupan masyarakat dapat dilihat dari nilai-nilai atau norma-norma yang ada seperti norma agama, susila, atau sosial.
Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan mensiratkan aksi-aksi balasan (Wellek dan Waren, 1990:289). Konflik sosial adalah segala sesuatu yang bertentangan, masyarakat yang suka memperhatikan kepentingan umum dengan kesosialan sifat-sifat masyarakat. Dengan demikian, konflik dapat diasumsikan sebagai sesuatu yang negatif dan tidak menyenangkan sehingga hal ini cenderung dihindari oleh seseorang. Konflik- konflik yang bisa diangkat dalam suatu karya sastra dapat berupa konflik yang terjadi antara manusia dan manusia, manusia denan alam sekitarnya, (dapat disebut konflik fisik, eksternal atau jasmaniah). Konflik antara suatu ide dengan ide lain disebut konflik internal atau batiniah.
Konflik sosial dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar, wujud dari penolakan norma-norma sosial dan pemikiran yang berlaku pada masyarakat dan keluarga. Norma sosial yang seharusnya menjadi rambu dapat dijadikan sebuah perubahan yang bernilai positif. Selain itu konflik sosial yang terjadi merupakan gambaran dari pertentangan tentang anggapan masyarakat bahwa orang (pria) yang yang dibawa Jepang Heiho dan Romusya di negeri sebrang tidak bisa pulang dengan selamat, tetapi tidak demikian dengan Tamin, dia bisa kembali pulang dengan selamat.
Luxemburg 1989:23 mengungkapkan bahwa karya sastra dapat dipandang sebagai gejala sosial. Sebagai bukti bahwa sastra muncul sebagai gejala sosial akibat dari norma sosial yang ada dimasyarakat yaitu novel yang berjudul “ Pulang “ karya Toha Mokhtar. Akibat dari norma sosial yang dipertentangkan akan muncul konflik sosial yang terjadi pada tokoh Tamin untuk diteliti karena adanya pertentangan norma sosial yang dilatarbelakangi kelas-kelas sosial yang terkait dengan ekonomi dan masalah sosial yang cenderung antara satu orang ke orang lain. Konflik sosial yang nampak pada tokoh Tamin, ketika ia mengembara sebagai Heiho yang kewajibannya hanya berkelahi dan menembak, mengembara di tengah hutan belantara, sedangkan norma yang berlaku dimasyarakat apabila seseorang yang mengembara atau bertugas sebagai Heiho, ia hanya tidak sekedar berkelahi dan menembak, mengembara di tengah hutan belantara, tapi juga mencari seorang pendamping atau istri.
Tokoh Tamin yang mengalami konflik sosial merupakan gambaran pria dari kelompok sosial bawah yang mampu mendongkrak norma sosial tentang kewajiban seorang anak kepada orang tuanya. Jarang dijumpai dalam kelompok sosial ini mengenai kewajiban seorang anak kepada orang tuanya.
Novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar dijadikan sebagai objek penelitian, novel ini menarik untuk diteliti karena menggambarkan fenomena sosial yang terjadi sampai sekarang, misalnya tergambar dalam novel ini yaitu masalah kewajiban seorang anak terhadap orang tuanya bahwa tidak selamanya anak yang merantau sebagai Heiho akan mati dalam medan perang, tetapi justru Tamin yang merantau sebagai Heiho bisa pulang kembali ke kampung dengan selamat, hal itu dalam kenyataan orang yang dibawa jepang Heiho dan Romusya di negeri sebrang kebanyakan tidak bisa pulang dengan selamat. Dalam novel ini dibuktikan dalam kutipan sebagai berikut.
“Akhirnya engkau kembali jua, Tamin. Tuhan mengabulkan doaku siang dan malam. Tak ada yang lebih besar kuharapkan dalam hidup ini, kecuali kedatanganmu. Apa gerangan yang aku mimpikan semalaman?” ( Toha,Mokhtar. 1975:9)
Dari kutipan tersebut Tamin bisa kembali pulang dengan selamat, karena do’a dari orang tuanya, dan menggambarkan bahwa tidak selamanya orang yang dibawa Jepang Heiho dan Romusya di negeri sebrang tidak bisa pulang dengan selamat
Novel ini menggambarkan bahwa tak selamanya kehidupan pun berjalan lancar dan mulus, apalagi ketika seseorang sudah berkeluarga, segala permasalahan dan cobaan datang silih berganti, menguji kekuatan suatu rumah tangga. Jaminan ekomi yang kurang tidak selamanya membuat hati mereka sedih.
Toha Mokhtar adalah seorang yang mempunyai kesempatan untuk mengembangkan bakatnya yaitu menulis. Alasan memilih Toha Mokhtar karena melihat tahun terbitan novel ini tidak banyak sastrawan yang berasal dari dunia yang berbeda. Kebanyakan seorang sastrawan adalah orang yang sudah berkecimpung lama dalam dunia sastra.
Dalam penelitian ini mengangkat permasalahan pokok yaitu bagaimana bentuk konflik sosial tokoh Tamin dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar ?. Dari rumusan tersebut, maka dapat diperoleh tujuannya yaitu mendeskripsikan bentuk konflik sosial tokoh Tamin dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar. Dan dari rumusan masalah tersebut maka akan diperoleh manfaat sebagai berikut: Manfaat penelitian secara teoritis yaitu bagi pengembang teori sastra, khususnya teori sosiologi sastra dan teori konflik sosial yang terdapat dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar. Manfaat secara praktis yaitu bagi mahasiswa sastra untuk kegiatan analisis terhadap karya sastra dari segi pemahaman konflik sosial yang dialami oleh tokoh yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena menghasilkan deskripsi novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar dan tidak menggunakan sistem perhitungan atau tidak membutuhkan angka sebagai data. Metode kualitatif sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati yang menunjukkan konflik sosial yang terjadi pada tokoh Tamin.
Penelitian ini mempunyai sumber data utama yaitu novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar, tahun penerbit 1975, tebal buku 71 halaman, selain itu sumber data yang lain buku sosilogi sastra, perubahan sosial dan pembangunan, serta buku teori sosiologi klasik dan modern, buku ilmu sosial dasar. Jenis data berupa kalimat dan paragraf yang menunjukkan konflik sosial yang terjadi pada tokoh Tamin sebagai sumber penelitian yang sesuai dengan rumusan masalah. Penelitian yang berjudul “Konflik Sosial Tokoh Tamin dalam Novel “ Pulang “ Karya Toha Mokhtar “. menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: membaca berulang-ulang novel “ Pulang “ Karya Toha Mokhtar, menginvertarisasi data, mengklasifikasikan data yaitu data yang berupa konflik sosial tokoh Tamin.
Dalam penelitian ini yang berjudul “Konflik Sosial Tokoh Tamin dalam Novel “ Pulang “ Karya Toha Mokhtar “ menggunakan teknik analisis data sebagai berikut: menganalisis data sesuai dengan rumusan masalah dan landasan teori yang digunakan, menyimpulkan analisis data, mendeskripsikan hasil analisis data berupa laporan.
Hal yang terpenting dalam karya sastra adalah konsep cermin dalam kaitan ini, sastra dianggap tiruan masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari hal tersebut, sastra tidak semata-mata menyodorkan sastra mentah, sastra bukanlah sekedar tiruan dari kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi yang halus dan estetis. Karya sastra dikontruksikan sebagai imajinatif, tetapi kerangka-kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka emplisitnya (Diyas, 2003:10-11).
Teori sosiologi sastra merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan kenyataan sosial yang dipindahkan atau disalin pengarang dalam sebuah karya sastra, sehingga teori-teori sosiologi yang digunakan untuk menganalisis sebuah cipta sastra tidak dapat mengobalkan eksistensi pengarang, dunia, pengalaman batinnya, serta budaya tempat karya itu dilahirkan.
(Damono, 1979: 3-4) mengemukakan bahwa telaah sosiologi terhadap sastra mencakup tiga hal. Pertama konteks sosial pengarang, terdapat hubungannya dengan posisi sastrawan dalam masyarakat pembaca. Kedua, sastra sebagai cerminan keadaan masyarakat, menggambarkan anggapan bahwa sastra sebagai cerminan keadaan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra yaitu penilaian sastra pendidikan bagi masyarakat pembaca sastra.
Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra: landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra cermin langsung dari pelbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal ini tugas ahli sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayalan dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya. (Damono, 1979: 10)
Konflik adalah mekanisme yang mendorong adanya suatu perubahan. Konflik berpengaruh efektif terhadap seluruh tingkat realitas sosial. Hubungan antara konflik dalam perubahan cenderung menjadi satu proses yang berlangsung dengan sendirinya dan terus menerus, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa konflik dapat menimbulkan perubahan, tetapi sebaliknya dari perubahan dapat pula mendatangkan konflik baru yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik selanjutnya (Wahyu, 2005:20).
Pemunculan konflik dalam karya sastra khususnya prosa fiksi menghasilkan sesuatu yang menarik untuk dinikmati dan membawa cerita lebih hidup. Konflik terjadi karena adanya ketidakseimbangan atau anggapan kearah itu, timbulnya konflik dibagi menjadi dua yaitu konflik yang tak berwujud kekerasan dan berwujud kekerasan seperti peperangan. Karena pada hakekatnya manusia dalam menjalani hidup pasti mengalami konflik diri sendiri atau konflik sosial antar masyarakat lain.
Bentuk- bentuk konflik yang menimbulkan ketegangan (Faturahman dalam Darmansyah, 1986: 244). Konflik dapat terjadi dimana-mana, baik antara dua orang, dua kelompok atau antara bangsa-bangsa atau lebih. Konflik tersebut terjadi akibat perbedaan kepentingan dalam berbagai hal. Namun yang perlu diperhatikan bahwa konflik itu sendiri memiliki kadar intensitas atau kedalaman yang menunjukkan kemampuannya untuk menimbulkan ketegangan bagi individu atau kelompok. Konflik sosial merupakan wilayah makro yang artinya mencakup konflik antar negara atau terkait dengan nasional atau internasional, sedangkan konflik sosial antara individu dengan kelompok merupakan wilayah mikro.
Bentuk konflik yang dapat menimbulkan ketegangan antara lain konflik diadik atau mikro dan konflik kolektif atau makro. Konflik dapat menimbulkan ketegangan yaitu konflik laten yaitu konflik yang belum diwujudkan secara terang-terangan karena ada pertentangan yang masih bisa dirasionalkan konflik manifest yaitu konflik yang ditujukan secara langsung atau terbuka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konflik yang dapat menimbulkan ketegangan adalah konflik yang telah menyangkut masalah-masalah perasaan dan fungsi kerohaniaan lain dari individu maupun kelompok. Hal-hal umum yang sering menjadi masalah peka dalam interaksi sosial dan sering menimbulkan ketegangan antara lain masalah-masalah pemenuhan kebutuhan (ekonomi), kehormatan, ideologi dan kekuasaan.
Konflik diadik (Faturahman dalam Darmansyah, 1986: 244) adalah konflik antar individu dan antar kolektivitas. Umumnya konflik antar kelompok ini lebih banyak ditimbulkan oleh masalah-masalah yang menyangkut ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan dan masalah-masalah yang menyangkut kehormatan dan eksistensi individu dan kelompok.
Konflik kolektif (Faturahman dalam Darmansyah, 1986: 244) menyangkut hubungan antar negara dalam hubungan internasional, karena secara toritis konflik yang paling sederhana diantara kolektivitas adalah hubungan internasinal, dimana yang terlibat adalah nation states yang berdaulat. Konflik antar negara bangsa ini umumnya lebih cepat menimbulkan ketegangan karena dapat menimbulkan emosi massa atau politik yang dilibatkan.
Konflik dan kekompakan (Sosiologi George Simmel dalam Johnson, 1986: 269). Konflik sangat erat terjalin dengan pelbagai proses yang mempersatukan dalam kehidupan sosial, dan bukan hanya sekedar lawan dari persatuan. Konflik dan persatuan dapat diliahat sebagai bentuk lain dari sosialisasi; yang satu tidak lebih penting atau lebih mutlak dari yang lainnya, mengasumsikan bahwa ketegangan dan konflik adalah sesuatu “abnormal” atau bahwa keduanya merupakan persatuan kelompok, merupakan perspektif yang penuh bisa yang tidak didukung oleh kenyataan.
Konflik dapat mempunyai banyak bentuk. Simeel menganalisa beberapa diantaranya, termasuk pertandingan antagonistik, konflik hukum, konflik mengenai prinsip-prinsipdasar atau pelbagai hal objektif yang mengatasi individu yang terlibat, konflik antarpribadi yang memiliki mutu-mutu tertentu secara bersama, konflik dalam hubungan yang intim, konflik yang mengancam untuk mengacaukan suatu kelompok.
Konflik antara orang yang dalam banyak hal memiliki persamaan, secara dinamis terjalin dengan dasar kesatuan mereka. Kalau hubungan intim mungkin cukup kuat untuk memungkinkan percekcokan atau malah untuk hidup bersama, maka tidak mengherankan bahwa intensitas konflik sering berbanding langsung dengan tingkat solidaritas atau persamaan dalam hubungan itu.
Konflik merupakan gejala yang alamiah dan tidak dapat dielakkan dalam kehidupan sosial, namun ia berkepanjangan, sekurang-kurangnya dalam bentuk lahirnya. Sebaliknya, kehidupan sosial pada banyak tingkatan yang berbeda-beda memperlihatkan siklus perdamaian dan konflik, persahabatan dan permusuhan.
Kemenangan satu pihak tidak selalu berarti kalah sama sekali kehilangan kekuasaan untuk terus berjuang. Pihak yang kalah mungkin dengan bebas memilih untuk menyerah setelah mereka merasa bahwa hasilnya tidak bisa lain lagi.
B. PEMBAHASAN
Dari beberapa penjelasan tentang teori konflik sosial yaitu konflik diadik (konflik mikro), konflik makro, konflik dan kekompakan (George Simmel), maka penelitian ini menggunakan teori konflik diadik dan bentuk konflik alternatif dan akibat sosialnya. Konflik ini cenderung pada konflik yang timbul antar individu dan antar kelompok. Dalam novel ini, konflik sosial yang timbul karena konflik yang terjadi antar individu secara pribadi yang dilatarbelakangi oleh norma-norma sosial dan didalamnya terkait berbagai permasalahan yang ada di lingkungan sosial khususnya strata atau kelas sosial keluarga dan masalah ekonomi.
Unsur intrinsik yang berperan dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar yaitu tokoh dan alur. Tokoh Tamin merupakan tokoh utama karena frekuensi kemunculan dalam novel lebih besar dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. Hal ini sesuai dengan penentuan tokoh yang termasuk dalam unsur interistik sebuah cerita prosa fiksi atau novel (Najid, 2003: 23).
Alur cerita dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar pada bagian tengah menyajikan konflik sosial tokoh Tamin karena tokoh tersebut berinteraksi dengan beberapa tokoh atau terjadi pertentangan antar individu (Najid, 2003: 23). Sedangkan teori yang dipakai dalam menganalisis konflik sosial Tamin sebagai seorang yang mengembara sebagai Heiho yang kewajibannya hanya berkelahi dan menembak, mengembara di tengah hutan belantara merupakan konflik diadik yang menyangkut masalah pemenuhan kebutuhan ekonomi, masalah yang menyangkut efeksi atau perasaan dan fungsi-fungsi kerohanian, masalah kehormatan dan menjaga eksistensi dirinya sebagai seorang Heiho dan juga seorang anak.
Konflik Tamin muncul ketika ia berinteraksi dengan beberapa tokoh yaitu Sumi, ayah dan Ibunya. Fenomena yang terjadi di masyarakat menunjukkan masalah rumah tangga yang dapat memunculkan konflik dikarenakan masalah yang sensitif berkaitan dengan masalah yang menyangkut efeksi atau perasaan dan fungsi-fungsi kerohanian dan masalah ekonomi.
Konflik sosial yang muncul dapat dikarenakan masalah kepulangan seorang anak yang mengembara sebagai Heiho sering menjadi masalah utama dalam kehidupan rumah tangga yang berkaitan dengan masalah yang menyangkut efeksi atau perasaan dan fungsi-fungsi kerohanian. Simaklah kutipan berikut ini:
“Akhirnya engkau kembali jua, Tamin. Tuhan mengabulkan doaku siang dan malam. Tak ada yang lebih besar kuharapkan dalam hidup ini, kecuali kedatanganmu. Apa gerangan yang aku mimpikan semalaman?” ( Toha,Mokhtar. 1975:9)
Dari kutipan diatas menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai rencana masing-masing bagi manusia. Seperti halnya Orang tua Tamin, mereka selama 7 tahun mengharapkan anaknya untuk kembali pulang, dan akhirnya dalam waktu 7 tahun tersebut, tuhan mengijinkan mereka untuk bertemu, dan mengingat manusia hanya bisa berusaha, berharap, dan berdoa.
Hal ini menunjukkan konflik sosial Tamin yang menyangkut efeksi atau perasaan, sebagai seorang laki-laki yang telah merantau selama 7 tahun menjadi Heiho akhirnya pulang juga, tapi bisanya masyarakat menganggap bahwa orang yang merantau menjadi Heiho itu akan mati, tapi sebaliknya dengan tokoh Tamin ini, ia bisa pulang untuk berkumpul dengan keluarganya, jadi tidak selamanya orang yang menjadi Heiho itu akan mati, dan juga konflik sosial Tamin ini menyangkut masalah-masalah kerohaniannya yang mempercayakan semua cobaan yang diberikan oleh Tuhan ada hikmanya, dan tidak selamanya pula anak yang meninggalkan rumah, orang tuanya tidak menghapkannya kembali untuk pulang ke rumah. Selain itu, bentuk konflik Tamin yaitu konflik diadik, konflik yang kurang kuat menimbulkan ketegangan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang mengalami konflik diadik yang terjadi antar individu jarang menimbulkan ketegangan karena masih bisa dirasionalisasikan (Darmansyah,1986: 247).
Berkat dari Tuhan tidak selamanya berupa sesuatu yang kita inginkan, melainkan hal-hal yang tidak disukai seringkali dijadikan sebuah cobaan yang membawa hikamah yang baik untuk kelanjutan hidupnya.
Simaklah kutipan berikut ini, kutipan berikut ini menunjukkan konflik yang dialami Tamin muncul ketika ia berinteraksi dengan Sumi.
“Itu bohong!” kata Sumi tertawa. “Kau laki-laki, Kang Tamin. Mengapa kau tidak memilih satu dari mereka, membawanya pulang ke mari, biar kampung ini bertambah kaya!” Ia tertawa lagi, lalu disusul tawa itu oleh ayahnya dan ibunya.” ( Toha, Mokhtar. 1975:12)
Dari kutipan diatas menunjukkan bahwa konflik yang terjadi antara Tamin dengan adiknya (Sumi), dikarenakan Sumi menginkan kakaknya yang merantau selama 7 tahun itu pulang membawa seorang wanita, agar kampungnya menjadi kaya, tetapi ternyata kakaknya pulang tanpa membawa seorang wanita pun.
Hal ini menunjukkan konflik sosial Tamin yang menyangkut efeksi atau perasaan, sebagai seorang laki-laki yang telah merantau selama 7 tahun menjadi Heiho akhirnya pulang juga, tapi bisanya masyarakat menganggap bahwa orang yang merantau menjadi Heiho itu akan mati, tapi sebaliknya dengan tokoh Tamin ini, ia bisa pulang untuk berkumpul dengan keluarganya, jadi tidak selamanya orang yang menjadi Heiho itu akan mati, dan juga menyangkut masalah-masalah kerohaniannya yang mempercayakan semua cobaan yang diberikan oleh Tuhan ada hikmanya. Selain itu, bentuk konflik Tamin yaitu konflik diadik, konflik yang kurang kuat menimbulkan ketegangan, karena Tamin menelaah pikiran adinya (Sumi) dengan pikiran logis yang menganggap bahwa tidak membawa seorang wanita pulang ke rumah adalah anugrah Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang mengalami konflik diadik yang terjadi antar individu jarang menimbulkan ketegangan karena masih bisa dirasionalisasikan (Darmansyah,1986: 247).
Simaklah kutipan berikut ini, kutipan berikut ini menunjukkan konflik yang dialami Tamin muncul ketika ia berinteraksi dengan Sumi.
“Sumi menaruh pinggan dan gelas itu diatas kayu di pojok kandang dan tanpa mengawasi kakanya lagi ia berkata: “Jika tak salah, telah empat lebaran sampai kini, kang Tamin! Mengapa?” ( Mokhtar, Toha. 1975:16)
“Siang ini hendak kuberi atap dan besok akan datang seekor penghuni.” Sumi mengangkat muka dan menatap kakaknya dengan mata bulat. “Kau maksudkan kita hendak punya sapi lagi?” ( Mokhtar, Toha. 1975:16)
“Sumi masih menatap kakaknya dengan pandang heran dan tak percaya.” Kau harus mempunyai uang banyak, ….. banyak sekali, Kang Tamin!”Tamin tertawa. “Dalam ranselku ada uang, Sumi. Kuharap itu akan cukup untuk membeli seekor sapi muda yang kuat seperti aku!” ia tertawa lagi, melangkah mendekati adiknya, duduk di atas kayu menghadap singkong. ( Mokhtar, Toha. 1975:16)
Dari kutipan diatas menunjukkan bahwa konflik yang terjadi antara Tamin dengan adiknya (Sumi), dikarenakan Sumi menginkan kakaknya untuk membeli sapi agar mereka bisa mengerjakan sawahnya lagi supaya kebutuhan sehari-hari mereka terpenuhi. Hal ini menunjukkan konflik sosial Tamin yang menyangkut masalah pemenuhan kebutuhan ekonomi, sebagai seorang anak laki-laki Tamin menjadi tulang punggung keluarganya, maka ia wajib membantu orang tuanya, dalam hal ini Tamin ingin membahagiakan mereka dengan cara membeli sapi agar bisa mengerjakan kembali sawahnya. Kebutuhan ekonomi mereka belum tercukupi jalan satunya adalah mengerjakan sawahnya kembali supaya kebutuhan sehari-hari mereka terpenuhi, sebagai anak laki-laki Tamin menjadi tulang punggung keluarganya, untuk itu kepulangan Tamin merupakan anugrah terindah yang diberikan Tuhan kepada mereka. Selama empat lebaran atau kurang lebih 4 tahun keluaga Tamin tidak memiliki sapi. Tetapi alangkah terkejutnya Tamin ketika orang tuanya bilang alau mereka sudah tidak punya tanah lagi, dan konflik sosial Tamin juga menyangkut masalah-masalah kerohaniannya yang mempercayakan semua cobaan yang diberikan oleh Tuhan ada hikmanya. Selain itu, bentuk konflik Tamin yaitu konflik diadik, konflik yang kurang kuat menimbulkan ketegangan, karena Tamin menelaah pikiran adinya (Sumi) dengan pikiran logis yang menganggap bahwa tidak membawa seorang wanita pulang ke rumah adalah anugrah Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang mengalami konflik diadik yang terjadi antar individu jarang menimbulkan ketegangan karena masih bisa dirasionalisasikan (Darmansyah,1986: 247).
Simaklah kutipan berikut ini, kutipan berikut ini menunjukkan konflik yang dialami Tamin muncul ketika ia berinteraksi dengan Ibunya.
“Betapa baiknya sapi untuk kita sekarang? Inilah yang hendak kukatakan kepadamu, nak. Ketika engkau tak ada, rumah ini mengalami kesulitan yang tak dapat dipikul dan jawaban untuk itu cuma satu: tanah.” ( Mokhtar, Toha. 1975:18)
“Tanah. Tak ada yang lebih berharga daripada itu. Semenjak kecil ketika pertama ia menginjakkan kakinya atas pematang, ia telah belajar untuk mencintainya. Sebagai kanak-kanak ia telah mencurahkan semua keringatnya sepanjang petak, mencangkul bersama ayahnya ketika masih kuat. Pada musim membuka air, ia telah ada di sana sebelum matahari terbit, dan setiap petang ia menyasikkan turunnya matahari di balik gunung Wilis di tengah sawah juga.” ( Mokhtar, Toha. 1975:18)
Dari kutipan diatas menunjukkan bahwa konflik yang terjadi antara Tamin dengan ibunya, dikarenakan ibunya menginkan Tamin untuk membeli tanah bukan sapi karena tanah lebih berharga daripada sapi, dimana seluruh keluarganya telah mencintai tanah kelahiran mereka, maka Tamin tidak perlu membeli sapi, tapi uang yang dimiliki Tamin supaya digunakan untuk menebus rumah yang digadaikan orang tuanya. Hal ini menunjukkan konflik sosial Tamin yang menyangkut masalah pemenuhan kebutuhan ekonomi, sebagai seorang anak laki-laki Tamin menjadi tulang punggung keluarganya, maka ia wajib membantu orang tuanya, dalam hal ini Tamin ingin membahagiakan mereka dengan cara membeli sapi agar bisa mengerjakan kembali sawahnya, tetapi ternyata orang tuanya tidak setuju mereka menginginkan Tamin untuk menebus Tanah yang mereka gadaikan. Kebutuhan ekonomi mereka belum tercukupi jalan satunya adalah mengerjakan sawahnya kembali supaya kebutuhan sehari-hari mereka terpenuhi, sebagai anak laki-laki Tamin menjadi tulang punggung keluarganya, untuk itu kepulangan Tamin merupakan anugrah terindah yang diberikan Tuhan kepada mereka. Selama empat lebaran atau kurang lebih 4 tahun keluaga Tamin tidak memiliki sapi. Tetapi alangkah terkejutnya Tamin ketika orang tuanya bilang alau mereka sudah tidak punya tanah lagi, dan konflik sosial Tamin juga menyangkut masalah-masalah kerohaniannya yang mempercayakan semua cobaan yang diberikan oleh Tuhan ada hikmanya. Selain itu, bentuk konflik Tamin yaitu konflik diadik, konflik yang kurang kuat menimbulkan ketegangan, karena Tamin menelaah pikiran adinya (Sumi) dengan pikiran logis yang menganggap bahwa tidak membawa seorang wanita pulang ke rumah adalah anugrah Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang mengalami konflik diadik yang terjadi antar individu jarang menimbulkan ketegangan karena masih bisa dirasionalisasikan (Darmansyah,1986: 247).
C. SIMPULAN
Pemunculan konflik dalam karya sastra khususnya prosa fiksi menghasilkan sesuatu yang menarik untuk dinikmati dan membawa cerita lebih hidup. Konflik terjadi karena adanya ketidakseimbangan atau anggapan kearah itu, timbulnya konflik dibagi menjadi dua yaitu konflik yang berwujud kekerasan dan tak berwujud kekerasan seperti peperangan. Karena pada hakekatnya manusia dalam menjalani hidup pasti mengalami konflik diri sendiri atau konflik sosial antar masyarakat lain.
Konflik berpengaruh efektif terhadap seluruh tingkat realitas sosial. Hubungan antara konflik dalam perubahan cenderung menjadi satu proses yang berlangsung dengan sendirinya dan terus menerus, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa konflik dapat menimbulkan perubahan, tetapi sebaliknya dari perubahan dapat pula mendatangkan konflik baru yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik selanjutnya.
Konflik dapat terjadi dimana-mana, baik antara dua orang, dua kelompok atau antara bangsa-bangsa atau lebih. Konflik tersebut terjadi akibat perbedaan kepentingan dalam berbagai hal. Namun yang perlu diperhatikan bahwa konflik itu sendiri memiliki kadar intensitas atau kedalaman yang menunjukkan kemampuannya untuk menimbulkan ketegangan bagi individu atau kelompok. Konflik sosial merupakan wilayah makro yang artinya mencakup konflik antar negara atau terkait dengan nasional atau internasional, sedangkan konflik sosial antara individu dengan kelompok merupakan wilayah mikro.
D. DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia.
Darmansyah, M, (dkk). 1986. Ilmu Sosial Dasar (Kumpulan Essei). Surabaya: Usaha Nasional.
Istiana, Diyas. 2003. Potret Masyarakat Jawa dalam Novel Mangir Karya Pramoedya Ananta Toer. Skipsi tidak diterbitkan. Surabaya: FBS Unesa.
Johnson, Doyu Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern di Indonesiakan oleh Robert M.2. Lawang. Jilid I. Jakarta: PT. Gramedia.
Luxemburg, Jan Van (dkk). 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT.Gramedia.
Mokhtar, Toha. 1975. Novel “ Pulang”. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Najid, Moh. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: Kreasi Media Promo.
Wahyu, Drs, Ms. 2005. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: PT. Hecca Mitra Utama.
Wellek Rene dan Warren, Austin. 1990. Teori Kesusastraan di Indonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: PT. Gramedia.
Heni Puspitasari
Abstak
Novel “ Pulang “ ini menggambarkan bahwa tak selamanya kehidupan pun berjalan lancar dan mulus, apalagi ketika seseorang sudah berkeluarga, segala permasalahan dan cobaan datang silih berganti, menguji kekuatan suatu rumah tangga. Jaminan ekonomi yang kurang tidak selamanya membuat hati mereka sedih. Dalam penelitian ini mengangkat permasalahan pokok yaitu bagaimana bentuk konflik sosial tokoh Tamin dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar ?. Dari rumusan tersebut, maka dapat diperoleh tujuannya yaitu mendeskripsikan bentuk konflik sosial tokoh Tamin dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar. Manfaat penelitian secara teoritis yaitu bagi pengembang teori sastra, khususnya teori sosiologi sastra dan teori konflik sosial yang terdapat dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar. Manfaat secara praktis yaitu bagi mahasiswa sastra untuk kegiatan analisis terhadap karya sastra dari segi pemahaman konflik sosial yang dialami oleh tokoh yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis yang menunjukkan konflik sosial yang terjadi pada tokoh.
Kata kunci : - Novel “Pulang”
- Tokoh Tamin
- Bentuk Konflik Sosial
- Rumusan Masalah
- Manfaat Penelitian
- Metode Kualitatif
A. PENDAHULUAN
Sastra muncul karena dilatarbelakangi bahwa sastra muncul dari masyarakat dan merupakan cermin dari kehidupan masyarakat dapat dilihat dari nilai-nilai atau norma-norma yang ada seperti norma agama, susila, atau sosial.
Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan mensiratkan aksi-aksi balasan (Wellek dan Waren, 1990:289). Konflik sosial adalah segala sesuatu yang bertentangan, masyarakat yang suka memperhatikan kepentingan umum dengan kesosialan sifat-sifat masyarakat. Dengan demikian, konflik dapat diasumsikan sebagai sesuatu yang negatif dan tidak menyenangkan sehingga hal ini cenderung dihindari oleh seseorang. Konflik- konflik yang bisa diangkat dalam suatu karya sastra dapat berupa konflik yang terjadi antara manusia dan manusia, manusia denan alam sekitarnya, (dapat disebut konflik fisik, eksternal atau jasmaniah). Konflik antara suatu ide dengan ide lain disebut konflik internal atau batiniah.
Konflik sosial dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar, wujud dari penolakan norma-norma sosial dan pemikiran yang berlaku pada masyarakat dan keluarga. Norma sosial yang seharusnya menjadi rambu dapat dijadikan sebuah perubahan yang bernilai positif. Selain itu konflik sosial yang terjadi merupakan gambaran dari pertentangan tentang anggapan masyarakat bahwa orang (pria) yang yang dibawa Jepang Heiho dan Romusya di negeri sebrang tidak bisa pulang dengan selamat, tetapi tidak demikian dengan Tamin, dia bisa kembali pulang dengan selamat.
Luxemburg 1989:23 mengungkapkan bahwa karya sastra dapat dipandang sebagai gejala sosial. Sebagai bukti bahwa sastra muncul sebagai gejala sosial akibat dari norma sosial yang ada dimasyarakat yaitu novel yang berjudul “ Pulang “ karya Toha Mokhtar. Akibat dari norma sosial yang dipertentangkan akan muncul konflik sosial yang terjadi pada tokoh Tamin untuk diteliti karena adanya pertentangan norma sosial yang dilatarbelakangi kelas-kelas sosial yang terkait dengan ekonomi dan masalah sosial yang cenderung antara satu orang ke orang lain. Konflik sosial yang nampak pada tokoh Tamin, ketika ia mengembara sebagai Heiho yang kewajibannya hanya berkelahi dan menembak, mengembara di tengah hutan belantara, sedangkan norma yang berlaku dimasyarakat apabila seseorang yang mengembara atau bertugas sebagai Heiho, ia hanya tidak sekedar berkelahi dan menembak, mengembara di tengah hutan belantara, tapi juga mencari seorang pendamping atau istri.
Tokoh Tamin yang mengalami konflik sosial merupakan gambaran pria dari kelompok sosial bawah yang mampu mendongkrak norma sosial tentang kewajiban seorang anak kepada orang tuanya. Jarang dijumpai dalam kelompok sosial ini mengenai kewajiban seorang anak kepada orang tuanya.
Novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar dijadikan sebagai objek penelitian, novel ini menarik untuk diteliti karena menggambarkan fenomena sosial yang terjadi sampai sekarang, misalnya tergambar dalam novel ini yaitu masalah kewajiban seorang anak terhadap orang tuanya bahwa tidak selamanya anak yang merantau sebagai Heiho akan mati dalam medan perang, tetapi justru Tamin yang merantau sebagai Heiho bisa pulang kembali ke kampung dengan selamat, hal itu dalam kenyataan orang yang dibawa jepang Heiho dan Romusya di negeri sebrang kebanyakan tidak bisa pulang dengan selamat. Dalam novel ini dibuktikan dalam kutipan sebagai berikut.
“Akhirnya engkau kembali jua, Tamin. Tuhan mengabulkan doaku siang dan malam. Tak ada yang lebih besar kuharapkan dalam hidup ini, kecuali kedatanganmu. Apa gerangan yang aku mimpikan semalaman?” ( Toha,Mokhtar. 1975:9)
Dari kutipan tersebut Tamin bisa kembali pulang dengan selamat, karena do’a dari orang tuanya, dan menggambarkan bahwa tidak selamanya orang yang dibawa Jepang Heiho dan Romusya di negeri sebrang tidak bisa pulang dengan selamat
Novel ini menggambarkan bahwa tak selamanya kehidupan pun berjalan lancar dan mulus, apalagi ketika seseorang sudah berkeluarga, segala permasalahan dan cobaan datang silih berganti, menguji kekuatan suatu rumah tangga. Jaminan ekomi yang kurang tidak selamanya membuat hati mereka sedih.
Toha Mokhtar adalah seorang yang mempunyai kesempatan untuk mengembangkan bakatnya yaitu menulis. Alasan memilih Toha Mokhtar karena melihat tahun terbitan novel ini tidak banyak sastrawan yang berasal dari dunia yang berbeda. Kebanyakan seorang sastrawan adalah orang yang sudah berkecimpung lama dalam dunia sastra.
Dalam penelitian ini mengangkat permasalahan pokok yaitu bagaimana bentuk konflik sosial tokoh Tamin dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar ?. Dari rumusan tersebut, maka dapat diperoleh tujuannya yaitu mendeskripsikan bentuk konflik sosial tokoh Tamin dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar. Dan dari rumusan masalah tersebut maka akan diperoleh manfaat sebagai berikut: Manfaat penelitian secara teoritis yaitu bagi pengembang teori sastra, khususnya teori sosiologi sastra dan teori konflik sosial yang terdapat dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar. Manfaat secara praktis yaitu bagi mahasiswa sastra untuk kegiatan analisis terhadap karya sastra dari segi pemahaman konflik sosial yang dialami oleh tokoh yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena menghasilkan deskripsi novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar dan tidak menggunakan sistem perhitungan atau tidak membutuhkan angka sebagai data. Metode kualitatif sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati yang menunjukkan konflik sosial yang terjadi pada tokoh Tamin.
Penelitian ini mempunyai sumber data utama yaitu novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar, tahun penerbit 1975, tebal buku 71 halaman, selain itu sumber data yang lain buku sosilogi sastra, perubahan sosial dan pembangunan, serta buku teori sosiologi klasik dan modern, buku ilmu sosial dasar. Jenis data berupa kalimat dan paragraf yang menunjukkan konflik sosial yang terjadi pada tokoh Tamin sebagai sumber penelitian yang sesuai dengan rumusan masalah. Penelitian yang berjudul “Konflik Sosial Tokoh Tamin dalam Novel “ Pulang “ Karya Toha Mokhtar “. menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: membaca berulang-ulang novel “ Pulang “ Karya Toha Mokhtar, menginvertarisasi data, mengklasifikasikan data yaitu data yang berupa konflik sosial tokoh Tamin.
Dalam penelitian ini yang berjudul “Konflik Sosial Tokoh Tamin dalam Novel “ Pulang “ Karya Toha Mokhtar “ menggunakan teknik analisis data sebagai berikut: menganalisis data sesuai dengan rumusan masalah dan landasan teori yang digunakan, menyimpulkan analisis data, mendeskripsikan hasil analisis data berupa laporan.
Hal yang terpenting dalam karya sastra adalah konsep cermin dalam kaitan ini, sastra dianggap tiruan masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari hal tersebut, sastra tidak semata-mata menyodorkan sastra mentah, sastra bukanlah sekedar tiruan dari kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi yang halus dan estetis. Karya sastra dikontruksikan sebagai imajinatif, tetapi kerangka-kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka emplisitnya (Diyas, 2003:10-11).
Teori sosiologi sastra merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan kenyataan sosial yang dipindahkan atau disalin pengarang dalam sebuah karya sastra, sehingga teori-teori sosiologi yang digunakan untuk menganalisis sebuah cipta sastra tidak dapat mengobalkan eksistensi pengarang, dunia, pengalaman batinnya, serta budaya tempat karya itu dilahirkan.
(Damono, 1979: 3-4) mengemukakan bahwa telaah sosiologi terhadap sastra mencakup tiga hal. Pertama konteks sosial pengarang, terdapat hubungannya dengan posisi sastrawan dalam masyarakat pembaca. Kedua, sastra sebagai cerminan keadaan masyarakat, menggambarkan anggapan bahwa sastra sebagai cerminan keadaan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra yaitu penilaian sastra pendidikan bagi masyarakat pembaca sastra.
Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra: landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra cermin langsung dari pelbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal ini tugas ahli sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayalan dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya. (Damono, 1979: 10)
Konflik adalah mekanisme yang mendorong adanya suatu perubahan. Konflik berpengaruh efektif terhadap seluruh tingkat realitas sosial. Hubungan antara konflik dalam perubahan cenderung menjadi satu proses yang berlangsung dengan sendirinya dan terus menerus, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa konflik dapat menimbulkan perubahan, tetapi sebaliknya dari perubahan dapat pula mendatangkan konflik baru yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik selanjutnya (Wahyu, 2005:20).
Pemunculan konflik dalam karya sastra khususnya prosa fiksi menghasilkan sesuatu yang menarik untuk dinikmati dan membawa cerita lebih hidup. Konflik terjadi karena adanya ketidakseimbangan atau anggapan kearah itu, timbulnya konflik dibagi menjadi dua yaitu konflik yang tak berwujud kekerasan dan berwujud kekerasan seperti peperangan. Karena pada hakekatnya manusia dalam menjalani hidup pasti mengalami konflik diri sendiri atau konflik sosial antar masyarakat lain.
Bentuk- bentuk konflik yang menimbulkan ketegangan (Faturahman dalam Darmansyah, 1986: 244). Konflik dapat terjadi dimana-mana, baik antara dua orang, dua kelompok atau antara bangsa-bangsa atau lebih. Konflik tersebut terjadi akibat perbedaan kepentingan dalam berbagai hal. Namun yang perlu diperhatikan bahwa konflik itu sendiri memiliki kadar intensitas atau kedalaman yang menunjukkan kemampuannya untuk menimbulkan ketegangan bagi individu atau kelompok. Konflik sosial merupakan wilayah makro yang artinya mencakup konflik antar negara atau terkait dengan nasional atau internasional, sedangkan konflik sosial antara individu dengan kelompok merupakan wilayah mikro.
Bentuk konflik yang dapat menimbulkan ketegangan antara lain konflik diadik atau mikro dan konflik kolektif atau makro. Konflik dapat menimbulkan ketegangan yaitu konflik laten yaitu konflik yang belum diwujudkan secara terang-terangan karena ada pertentangan yang masih bisa dirasionalkan konflik manifest yaitu konflik yang ditujukan secara langsung atau terbuka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konflik yang dapat menimbulkan ketegangan adalah konflik yang telah menyangkut masalah-masalah perasaan dan fungsi kerohaniaan lain dari individu maupun kelompok. Hal-hal umum yang sering menjadi masalah peka dalam interaksi sosial dan sering menimbulkan ketegangan antara lain masalah-masalah pemenuhan kebutuhan (ekonomi), kehormatan, ideologi dan kekuasaan.
Konflik diadik (Faturahman dalam Darmansyah, 1986: 244) adalah konflik antar individu dan antar kolektivitas. Umumnya konflik antar kelompok ini lebih banyak ditimbulkan oleh masalah-masalah yang menyangkut ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan dan masalah-masalah yang menyangkut kehormatan dan eksistensi individu dan kelompok.
Konflik kolektif (Faturahman dalam Darmansyah, 1986: 244) menyangkut hubungan antar negara dalam hubungan internasional, karena secara toritis konflik yang paling sederhana diantara kolektivitas adalah hubungan internasinal, dimana yang terlibat adalah nation states yang berdaulat. Konflik antar negara bangsa ini umumnya lebih cepat menimbulkan ketegangan karena dapat menimbulkan emosi massa atau politik yang dilibatkan.
Konflik dan kekompakan (Sosiologi George Simmel dalam Johnson, 1986: 269). Konflik sangat erat terjalin dengan pelbagai proses yang mempersatukan dalam kehidupan sosial, dan bukan hanya sekedar lawan dari persatuan. Konflik dan persatuan dapat diliahat sebagai bentuk lain dari sosialisasi; yang satu tidak lebih penting atau lebih mutlak dari yang lainnya, mengasumsikan bahwa ketegangan dan konflik adalah sesuatu “abnormal” atau bahwa keduanya merupakan persatuan kelompok, merupakan perspektif yang penuh bisa yang tidak didukung oleh kenyataan.
Konflik dapat mempunyai banyak bentuk. Simeel menganalisa beberapa diantaranya, termasuk pertandingan antagonistik, konflik hukum, konflik mengenai prinsip-prinsipdasar atau pelbagai hal objektif yang mengatasi individu yang terlibat, konflik antarpribadi yang memiliki mutu-mutu tertentu secara bersama, konflik dalam hubungan yang intim, konflik yang mengancam untuk mengacaukan suatu kelompok.
Konflik antara orang yang dalam banyak hal memiliki persamaan, secara dinamis terjalin dengan dasar kesatuan mereka. Kalau hubungan intim mungkin cukup kuat untuk memungkinkan percekcokan atau malah untuk hidup bersama, maka tidak mengherankan bahwa intensitas konflik sering berbanding langsung dengan tingkat solidaritas atau persamaan dalam hubungan itu.
Konflik merupakan gejala yang alamiah dan tidak dapat dielakkan dalam kehidupan sosial, namun ia berkepanjangan, sekurang-kurangnya dalam bentuk lahirnya. Sebaliknya, kehidupan sosial pada banyak tingkatan yang berbeda-beda memperlihatkan siklus perdamaian dan konflik, persahabatan dan permusuhan.
Kemenangan satu pihak tidak selalu berarti kalah sama sekali kehilangan kekuasaan untuk terus berjuang. Pihak yang kalah mungkin dengan bebas memilih untuk menyerah setelah mereka merasa bahwa hasilnya tidak bisa lain lagi.
B. PEMBAHASAN
Dari beberapa penjelasan tentang teori konflik sosial yaitu konflik diadik (konflik mikro), konflik makro, konflik dan kekompakan (George Simmel), maka penelitian ini menggunakan teori konflik diadik dan bentuk konflik alternatif dan akibat sosialnya. Konflik ini cenderung pada konflik yang timbul antar individu dan antar kelompok. Dalam novel ini, konflik sosial yang timbul karena konflik yang terjadi antar individu secara pribadi yang dilatarbelakangi oleh norma-norma sosial dan didalamnya terkait berbagai permasalahan yang ada di lingkungan sosial khususnya strata atau kelas sosial keluarga dan masalah ekonomi.
Unsur intrinsik yang berperan dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar yaitu tokoh dan alur. Tokoh Tamin merupakan tokoh utama karena frekuensi kemunculan dalam novel lebih besar dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. Hal ini sesuai dengan penentuan tokoh yang termasuk dalam unsur interistik sebuah cerita prosa fiksi atau novel (Najid, 2003: 23).
Alur cerita dalam novel “ Pulang “ karya Toha Mokhtar pada bagian tengah menyajikan konflik sosial tokoh Tamin karena tokoh tersebut berinteraksi dengan beberapa tokoh atau terjadi pertentangan antar individu (Najid, 2003: 23). Sedangkan teori yang dipakai dalam menganalisis konflik sosial Tamin sebagai seorang yang mengembara sebagai Heiho yang kewajibannya hanya berkelahi dan menembak, mengembara di tengah hutan belantara merupakan konflik diadik yang menyangkut masalah pemenuhan kebutuhan ekonomi, masalah yang menyangkut efeksi atau perasaan dan fungsi-fungsi kerohanian, masalah kehormatan dan menjaga eksistensi dirinya sebagai seorang Heiho dan juga seorang anak.
Konflik Tamin muncul ketika ia berinteraksi dengan beberapa tokoh yaitu Sumi, ayah dan Ibunya. Fenomena yang terjadi di masyarakat menunjukkan masalah rumah tangga yang dapat memunculkan konflik dikarenakan masalah yang sensitif berkaitan dengan masalah yang menyangkut efeksi atau perasaan dan fungsi-fungsi kerohanian dan masalah ekonomi.
Konflik sosial yang muncul dapat dikarenakan masalah kepulangan seorang anak yang mengembara sebagai Heiho sering menjadi masalah utama dalam kehidupan rumah tangga yang berkaitan dengan masalah yang menyangkut efeksi atau perasaan dan fungsi-fungsi kerohanian. Simaklah kutipan berikut ini:
“Akhirnya engkau kembali jua, Tamin. Tuhan mengabulkan doaku siang dan malam. Tak ada yang lebih besar kuharapkan dalam hidup ini, kecuali kedatanganmu. Apa gerangan yang aku mimpikan semalaman?” ( Toha,Mokhtar. 1975:9)
Dari kutipan diatas menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai rencana masing-masing bagi manusia. Seperti halnya Orang tua Tamin, mereka selama 7 tahun mengharapkan anaknya untuk kembali pulang, dan akhirnya dalam waktu 7 tahun tersebut, tuhan mengijinkan mereka untuk bertemu, dan mengingat manusia hanya bisa berusaha, berharap, dan berdoa.
Hal ini menunjukkan konflik sosial Tamin yang menyangkut efeksi atau perasaan, sebagai seorang laki-laki yang telah merantau selama 7 tahun menjadi Heiho akhirnya pulang juga, tapi bisanya masyarakat menganggap bahwa orang yang merantau menjadi Heiho itu akan mati, tapi sebaliknya dengan tokoh Tamin ini, ia bisa pulang untuk berkumpul dengan keluarganya, jadi tidak selamanya orang yang menjadi Heiho itu akan mati, dan juga konflik sosial Tamin ini menyangkut masalah-masalah kerohaniannya yang mempercayakan semua cobaan yang diberikan oleh Tuhan ada hikmanya, dan tidak selamanya pula anak yang meninggalkan rumah, orang tuanya tidak menghapkannya kembali untuk pulang ke rumah. Selain itu, bentuk konflik Tamin yaitu konflik diadik, konflik yang kurang kuat menimbulkan ketegangan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang mengalami konflik diadik yang terjadi antar individu jarang menimbulkan ketegangan karena masih bisa dirasionalisasikan (Darmansyah,1986: 247).
Berkat dari Tuhan tidak selamanya berupa sesuatu yang kita inginkan, melainkan hal-hal yang tidak disukai seringkali dijadikan sebuah cobaan yang membawa hikamah yang baik untuk kelanjutan hidupnya.
Simaklah kutipan berikut ini, kutipan berikut ini menunjukkan konflik yang dialami Tamin muncul ketika ia berinteraksi dengan Sumi.
“Itu bohong!” kata Sumi tertawa. “Kau laki-laki, Kang Tamin. Mengapa kau tidak memilih satu dari mereka, membawanya pulang ke mari, biar kampung ini bertambah kaya!” Ia tertawa lagi, lalu disusul tawa itu oleh ayahnya dan ibunya.” ( Toha, Mokhtar. 1975:12)
Dari kutipan diatas menunjukkan bahwa konflik yang terjadi antara Tamin dengan adiknya (Sumi), dikarenakan Sumi menginkan kakaknya yang merantau selama 7 tahun itu pulang membawa seorang wanita, agar kampungnya menjadi kaya, tetapi ternyata kakaknya pulang tanpa membawa seorang wanita pun.
Hal ini menunjukkan konflik sosial Tamin yang menyangkut efeksi atau perasaan, sebagai seorang laki-laki yang telah merantau selama 7 tahun menjadi Heiho akhirnya pulang juga, tapi bisanya masyarakat menganggap bahwa orang yang merantau menjadi Heiho itu akan mati, tapi sebaliknya dengan tokoh Tamin ini, ia bisa pulang untuk berkumpul dengan keluarganya, jadi tidak selamanya orang yang menjadi Heiho itu akan mati, dan juga menyangkut masalah-masalah kerohaniannya yang mempercayakan semua cobaan yang diberikan oleh Tuhan ada hikmanya. Selain itu, bentuk konflik Tamin yaitu konflik diadik, konflik yang kurang kuat menimbulkan ketegangan, karena Tamin menelaah pikiran adinya (Sumi) dengan pikiran logis yang menganggap bahwa tidak membawa seorang wanita pulang ke rumah adalah anugrah Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang mengalami konflik diadik yang terjadi antar individu jarang menimbulkan ketegangan karena masih bisa dirasionalisasikan (Darmansyah,1986: 247).
Simaklah kutipan berikut ini, kutipan berikut ini menunjukkan konflik yang dialami Tamin muncul ketika ia berinteraksi dengan Sumi.
“Sumi menaruh pinggan dan gelas itu diatas kayu di pojok kandang dan tanpa mengawasi kakanya lagi ia berkata: “Jika tak salah, telah empat lebaran sampai kini, kang Tamin! Mengapa?” ( Mokhtar, Toha. 1975:16)
“Siang ini hendak kuberi atap dan besok akan datang seekor penghuni.” Sumi mengangkat muka dan menatap kakaknya dengan mata bulat. “Kau maksudkan kita hendak punya sapi lagi?” ( Mokhtar, Toha. 1975:16)
“Sumi masih menatap kakaknya dengan pandang heran dan tak percaya.” Kau harus mempunyai uang banyak, ….. banyak sekali, Kang Tamin!”Tamin tertawa. “Dalam ranselku ada uang, Sumi. Kuharap itu akan cukup untuk membeli seekor sapi muda yang kuat seperti aku!” ia tertawa lagi, melangkah mendekati adiknya, duduk di atas kayu menghadap singkong. ( Mokhtar, Toha. 1975:16)
Dari kutipan diatas menunjukkan bahwa konflik yang terjadi antara Tamin dengan adiknya (Sumi), dikarenakan Sumi menginkan kakaknya untuk membeli sapi agar mereka bisa mengerjakan sawahnya lagi supaya kebutuhan sehari-hari mereka terpenuhi. Hal ini menunjukkan konflik sosial Tamin yang menyangkut masalah pemenuhan kebutuhan ekonomi, sebagai seorang anak laki-laki Tamin menjadi tulang punggung keluarganya, maka ia wajib membantu orang tuanya, dalam hal ini Tamin ingin membahagiakan mereka dengan cara membeli sapi agar bisa mengerjakan kembali sawahnya. Kebutuhan ekonomi mereka belum tercukupi jalan satunya adalah mengerjakan sawahnya kembali supaya kebutuhan sehari-hari mereka terpenuhi, sebagai anak laki-laki Tamin menjadi tulang punggung keluarganya, untuk itu kepulangan Tamin merupakan anugrah terindah yang diberikan Tuhan kepada mereka. Selama empat lebaran atau kurang lebih 4 tahun keluaga Tamin tidak memiliki sapi. Tetapi alangkah terkejutnya Tamin ketika orang tuanya bilang alau mereka sudah tidak punya tanah lagi, dan konflik sosial Tamin juga menyangkut masalah-masalah kerohaniannya yang mempercayakan semua cobaan yang diberikan oleh Tuhan ada hikmanya. Selain itu, bentuk konflik Tamin yaitu konflik diadik, konflik yang kurang kuat menimbulkan ketegangan, karena Tamin menelaah pikiran adinya (Sumi) dengan pikiran logis yang menganggap bahwa tidak membawa seorang wanita pulang ke rumah adalah anugrah Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang mengalami konflik diadik yang terjadi antar individu jarang menimbulkan ketegangan karena masih bisa dirasionalisasikan (Darmansyah,1986: 247).
Simaklah kutipan berikut ini, kutipan berikut ini menunjukkan konflik yang dialami Tamin muncul ketika ia berinteraksi dengan Ibunya.
“Betapa baiknya sapi untuk kita sekarang? Inilah yang hendak kukatakan kepadamu, nak. Ketika engkau tak ada, rumah ini mengalami kesulitan yang tak dapat dipikul dan jawaban untuk itu cuma satu: tanah.” ( Mokhtar, Toha. 1975:18)
“Tanah. Tak ada yang lebih berharga daripada itu. Semenjak kecil ketika pertama ia menginjakkan kakinya atas pematang, ia telah belajar untuk mencintainya. Sebagai kanak-kanak ia telah mencurahkan semua keringatnya sepanjang petak, mencangkul bersama ayahnya ketika masih kuat. Pada musim membuka air, ia telah ada di sana sebelum matahari terbit, dan setiap petang ia menyasikkan turunnya matahari di balik gunung Wilis di tengah sawah juga.” ( Mokhtar, Toha. 1975:18)
Dari kutipan diatas menunjukkan bahwa konflik yang terjadi antara Tamin dengan ibunya, dikarenakan ibunya menginkan Tamin untuk membeli tanah bukan sapi karena tanah lebih berharga daripada sapi, dimana seluruh keluarganya telah mencintai tanah kelahiran mereka, maka Tamin tidak perlu membeli sapi, tapi uang yang dimiliki Tamin supaya digunakan untuk menebus rumah yang digadaikan orang tuanya. Hal ini menunjukkan konflik sosial Tamin yang menyangkut masalah pemenuhan kebutuhan ekonomi, sebagai seorang anak laki-laki Tamin menjadi tulang punggung keluarganya, maka ia wajib membantu orang tuanya, dalam hal ini Tamin ingin membahagiakan mereka dengan cara membeli sapi agar bisa mengerjakan kembali sawahnya, tetapi ternyata orang tuanya tidak setuju mereka menginginkan Tamin untuk menebus Tanah yang mereka gadaikan. Kebutuhan ekonomi mereka belum tercukupi jalan satunya adalah mengerjakan sawahnya kembali supaya kebutuhan sehari-hari mereka terpenuhi, sebagai anak laki-laki Tamin menjadi tulang punggung keluarganya, untuk itu kepulangan Tamin merupakan anugrah terindah yang diberikan Tuhan kepada mereka. Selama empat lebaran atau kurang lebih 4 tahun keluaga Tamin tidak memiliki sapi. Tetapi alangkah terkejutnya Tamin ketika orang tuanya bilang alau mereka sudah tidak punya tanah lagi, dan konflik sosial Tamin juga menyangkut masalah-masalah kerohaniannya yang mempercayakan semua cobaan yang diberikan oleh Tuhan ada hikmanya. Selain itu, bentuk konflik Tamin yaitu konflik diadik, konflik yang kurang kuat menimbulkan ketegangan, karena Tamin menelaah pikiran adinya (Sumi) dengan pikiran logis yang menganggap bahwa tidak membawa seorang wanita pulang ke rumah adalah anugrah Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang mengalami konflik diadik yang terjadi antar individu jarang menimbulkan ketegangan karena masih bisa dirasionalisasikan (Darmansyah,1986: 247).
C. SIMPULAN
Pemunculan konflik dalam karya sastra khususnya prosa fiksi menghasilkan sesuatu yang menarik untuk dinikmati dan membawa cerita lebih hidup. Konflik terjadi karena adanya ketidakseimbangan atau anggapan kearah itu, timbulnya konflik dibagi menjadi dua yaitu konflik yang berwujud kekerasan dan tak berwujud kekerasan seperti peperangan. Karena pada hakekatnya manusia dalam menjalani hidup pasti mengalami konflik diri sendiri atau konflik sosial antar masyarakat lain.
Konflik berpengaruh efektif terhadap seluruh tingkat realitas sosial. Hubungan antara konflik dalam perubahan cenderung menjadi satu proses yang berlangsung dengan sendirinya dan terus menerus, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa konflik dapat menimbulkan perubahan, tetapi sebaliknya dari perubahan dapat pula mendatangkan konflik baru yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik selanjutnya.
Konflik dapat terjadi dimana-mana, baik antara dua orang, dua kelompok atau antara bangsa-bangsa atau lebih. Konflik tersebut terjadi akibat perbedaan kepentingan dalam berbagai hal. Namun yang perlu diperhatikan bahwa konflik itu sendiri memiliki kadar intensitas atau kedalaman yang menunjukkan kemampuannya untuk menimbulkan ketegangan bagi individu atau kelompok. Konflik sosial merupakan wilayah makro yang artinya mencakup konflik antar negara atau terkait dengan nasional atau internasional, sedangkan konflik sosial antara individu dengan kelompok merupakan wilayah mikro.
D. DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia.
Darmansyah, M, (dkk). 1986. Ilmu Sosial Dasar (Kumpulan Essei). Surabaya: Usaha Nasional.
Istiana, Diyas. 2003. Potret Masyarakat Jawa dalam Novel Mangir Karya Pramoedya Ananta Toer. Skipsi tidak diterbitkan. Surabaya: FBS Unesa.
Johnson, Doyu Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern di Indonesiakan oleh Robert M.2. Lawang. Jilid I. Jakarta: PT. Gramedia.
Luxemburg, Jan Van (dkk). 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT.Gramedia.
Mokhtar, Toha. 1975. Novel “ Pulang”. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Najid, Moh. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: Kreasi Media Promo.
Wahyu, Drs, Ms. 2005. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: PT. Hecca Mitra Utama.
Wellek Rene dan Warren, Austin. 1990. Teori Kesusastraan di Indonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: PT. Gramedia.
Selasa, 19 Mei 2009
Puisiku
Penantian
ada kata yang tak mampu terusik
meski senja datang...
meski langit segera kelam...
tersimpan rapi dalam hati yang sepi
hari-hari berlalu
tanpa sempat tuk tahu
akankah saatnya tiba
atau hanya penantian saja
sembari berkata:...
selalu kutunggu
satu kata yang tak mampu terusik
berlandaskan kenangan
berfondasikan harapan
ada kata yang tak mampu terusik
meski senja datang...
meski langit segera kelam...
tersimpan rapi dalam hati yang sepi
hari-hari berlalu
tanpa sempat tuk tahu
akankah saatnya tiba
atau hanya penantian saja
sembari berkata:...
selalu kutunggu
satu kata yang tak mampu terusik
berlandaskan kenangan
berfondasikan harapan
Langganan:
Postingan (Atom)